tag:blogger.com,1999:blog-90933630515343735762024-03-21T03:35:25.456+07:00Energi dan Lingkungan IndonesiaEnergi dan Lingkungan untuk Indonesia Masa DepanIndra Budhi Kurniawanhttp://www.blogger.com/profile/17162841739163569116noreply@blogger.comBlogger29125tag:blogger.com,1999:blog-9093363051534373576.post-28192039307475314062010-09-26T09:26:00.009+07:002010-10-12T05:42:40.417+07:00Batubara Indonesia (Bagian 1)Batubara merupakan salah satu sumber energi primer yang banyak digunakan di dunia, termasuk di Indonesia. Jumlah sumberdaya batubara Indonesia pada tahun 2005 menurut perhitungan Pusat Sumber Daya Geologi, ESDM sebesar 61,366 miliar ton. Jumlah sumberdaya batubara tersebut dapat dibedakan menjadi empat golongan, yaitu:<br /><br />1. Hipotetik, masih dalam perkiraan awal<br />2. Tereka<br />3. Tertunjuk, jika dilakukan studi pra-kelayakan maka akan menjadi terkira dan terkira terpasarkan (sumber daya pra-kelayakan)<br />4. Terukur, jika dilakukan studi kelayakan maka akan menjadi terbukti dan terbukti terpasarkan (sumber daya kelayakan)<br /><br />Pemanfaatan batubara sebagai sumber energi primer di Indonesia tidak terlepas dari kebijakan energi nasional Indonesia. Berdasar Peraturan Presiden No. 5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN), yang merupakan perubahan dari Kebijakan Umum Bidang Energi (KUBE) tahun 1998, batubara merupakan salah satu sumber energi primer yang berperan dalam menciptakan keamanan pasokan energi nasional secara berkelanjutan dan pemanfaatan energi secara efisien serta berperan dalam bauran energi (<em>energy mix</em>) yang akan optimal pada tahun 2025. Berikut persentase komponen bauran energi yang diproyeksikan pada tahun 2025:<br /><br /><br /><p align="center"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjtyVyx7gNwiw_Pqt8nZc8l-h9qnpzv7Ily_Wy3rN8wi6nyax9uyjIzWM7wLR1Gdv6De60UGOBjH7Mh0dy-n4ji67hisbWSD_KorLn_9DyKM4Iys6vxjDvxLeWLOv03zs2HtsG5_TDh-N4/s1600/Energy+Mix.jpg"><img style="WIDTH: 320px; HEIGHT: 186px; CURSOR: hand" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5521049750657698882" border="0" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjtyVyx7gNwiw_Pqt8nZc8l-h9qnpzv7Ily_Wy3rN8wi6nyax9uyjIzWM7wLR1Gdv6De60UGOBjH7Mh0dy-n4ji67hisbWSD_KorLn_9DyKM4Iys6vxjDvxLeWLOv03zs2HtsG5_TDh-N4/s320/Energy+Mix.jpg" /></a></p>Pada tahun 2025 diharapkan batubara memenuhi 34,6% dari total kebutuhan energi primer dalam bauran energi.<br /><br />Untuk memenuhi target tersebut, produksi batubara Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat. Dalam 13 tahun terakhir, perkembangan produksi batubara Indonesia sebesar 15,68% per tahun. Berikut grafik trend produksi dan penjualan batubara Indonesia:<br /><p align="center"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhlsaA2rDymEdDbA5-yIoEcKlTSJQP7Ycuwt7hMTDMgBa1-UI7d4W1bN0QSCdWqEtevvEvZ_384rbr2uTAMGR6kiw_T3CC-OibDA6Xw1rKNsSVamIXtTC3pBzyHCoVmKGTdZkU5BnFdAvY/s1600/produksi,+penjualan+dalam+negeri+batubara.jpg"><img style="WIDTH: 320px; HEIGHT: 179px; CURSOR: hand" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5521051448650500706" border="0" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhlsaA2rDymEdDbA5-yIoEcKlTSJQP7Ycuwt7hMTDMgBa1-UI7d4W1bN0QSCdWqEtevvEvZ_384rbr2uTAMGR6kiw_T3CC-OibDA6Xw1rKNsSVamIXtTC3pBzyHCoVmKGTdZkU5BnFdAvY/s320/produksi,+penjualan+dalam+negeri+batubara.jpg" /></a></p><br /><br /><p align="left">Berikut peranan perusahan tambang batubara dalam produksi batubara Indonesia; PKP2B sebesar 87,79%, KP sebesar 6,52% dan BUMN sebesar 5,68%. Dari produksi batubara tersebut, sebanyak 72,11% di ekspor. Sisanya, digunakan untuk keperluan di dalam negeri. Adapun industri yang memanfaatkan batubara di dalam negeri adalah PLTU, industri semen, industri kertas, industri tekstil, industri metalurgi dan industri lainnya.</p><p align="center"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhQ_IBMZMQv9sv_nO-cm4-BNl-dhrGPhc247jKqONutc6g7LyK8dZChbkbRZ-mPSXOSOT0VzcIDElngIMblsixOnekPFUEsUf5k1AlRQb8TO_sxo_RlEGOEkAGbvpK93pR7_L0RCY-vK0E/s1600/Data+tabel+industri+pemakai+batubara+dalam+negeri.jpg"><img style="WIDTH: 355px; HEIGHT: 106px; CURSOR: hand" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5526921235619305554" border="0" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhQ_IBMZMQv9sv_nO-cm4-BNl-dhrGPhc247jKqONutc6g7LyK8dZChbkbRZ-mPSXOSOT0VzcIDElngIMblsixOnekPFUEsUf5k1AlRQb8TO_sxo_RlEGOEkAGbvpK93pR7_L0RCY-vK0E/s320/Data+tabel+industri+pemakai+batubara+dalam+negeri.jpg" /></a></p><p align="left"></p>Penggunaan batubara oleh PLTU tumbuh sekitar 13% setiap tahunnya yang sejalan dengan peningkatan listrik yang tumbuh 7,67% setiap tahunnya. Pada tahun 2025, PLTU diperkirakan akan memanfaatkan sekitar 71,11% batubara dalam negeri atau sekitar 35,34 juta ton. (bersambung ke bagian-2)<br /><br /><p align="left"></p><br /><br /><p align="left"></p>Indra Budhi Kurniawanhttp://www.blogger.com/profile/17162841739163569116noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9093363051534373576.post-2109860778699678612010-08-21T13:35:00.002+07:002010-08-21T13:39:37.060+07:00Program Bio Energi Perdesaan (B E P)JAKARTA. Salah satu permasalahan nasional yang kita hadapi dan harus dipecahkan serta dicarikan jalan keluarnya pada saat ini adalah masalah energi, baik untuk keperluan rumah tangga, maupun untuk industri dan transportasi. Terkait dengan masalah tersebut, salah satu kebijakan pemerintah ialah rencana pengurangan penggunaan bahan bakar minyak tanah untuk keperluan rumah tangga.<br /><br />Sejalan dengan hal itu pemerintah juga mendorong upaya- upaya untuk penggunaan sumber-sumber energi alternatif lainnya yang dianggap layak dilihat dari segi teknis, ekonomi, dan lingkungan, apakah itu berupa biofuel, biogas/gas bio, briket arang dan lain sebagainya.<br /><br />Dalam rangka pemenuhan keperluan energi rumah tangga khususnya di perdesaan maka perlu dilakukan upaya yang sistematis untuk menerapkan berbagai alternatif energi yang layak bagi masyarakat. Sehubungan dengan hal tersebut maka salah satu upaya terobosan yang dilakukan adalah melaksanakan program Bio Energi Perdesaan (BEP), yaitu suatu Program BEP-Biogas Skala Rumah Tangga.<br /><br />Upaya pemenuhan energi secara swadaya (self production) oleh masyarakat khususnya di perdesaan, termasuk bagi masyarakat di desa-desa terpencil seperti di daerah pedalaman dan kepulauan. Pelaksanaan program BEP juga terkait dengan upaya-upaya pengembangan agribisnis dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan dan ramah lingkungan.<br /><br />Secara garis besar tujuan program BEP adalah berkembangnya swadaya masyarakat dalam penyediaan dan penggunaan bio energi (bio gas, bio massa, dan bio fuel) bagi keperluan rumah tangga termasuk untuk kegiatan usaha industri rumah tangga khususnya di perdesaan.<br /><br /><strong>Biogas</strong><br /><br />Biogas adalah gas yang dihasilkan dari proses penguraian bahan-bahan organik oleh mikroorganisme pada kondisi langka oksigen (anaerob). Biogas dapat dibakar seperti elpiji, dalam skala besar biogas dapat digunakan sebagai pembangkit energi listrik, sehingga dapat dijadikan sumber energi alternatif yang ramah lingkungan dan terbarukan.<br /><br />Komponen Biogas :<br />± 60 % CH4 (metana)<br />± 38 % CO2 (karbon dioksida)<br />± 2%N2,O2,H2,& H2S<br /><br />Sumber energi Biogas yang utama: kotoran ternak Sapi, Kerbau, Babi dan Kuda<br /><br /><strong>Kesetaraan biogas dengan sumber energi lain</strong><br /><br />1m3 Biogas setara dengan: elpiji 0,46 Kg, minyak tanah 0,62 liter, minyak solar 0,52 liter, bensin 0,80 liter, gas kota 1,50 m3, kayu bakar 3,50 kg<br /><br /><strong>Sejarah Pemanfaatan Biogas Di Indonesia</strong><br /><br />Mulai diperkenalkan pada tahun 1970-an, pada tahun 1981 melalui Proyek Pengembangan Biogas dengan dukungan dana dari FAO dibangun contoh instalasi biogas di beberapa provinsi. Penggunaan biogas belum cukup berkembang luas antara lain disebabkan oleh karena masih relatif murahnya harga BBM yang disubsidi, sementara teknologi yang diperkenalkan selama ini masih memerlukan biaya yang cukup tinggi karena berupa konstruksi beton dengan ukuran yang cukup besar.<br /><br />Mulai tahun 2000-an telah dikembangkan reaktor biogas skala kecil (rumah tangga) dengan konstruksi sederhana, terbuat dari plastik secara siap pasang (knockdown) dan dengan harga yang relatif murah.<br /><br /><strong>Manfaat Biogas</strong><br /><br />Manfaat energi biogas adalah sebagai pengganti bahan bakar khususnya minyak tanah dan dipergunakan untuk memasak. Dalam skala besar, biogas dapat digunakan sebagai pembangkit energi listrik. Di samping itu, dari proses produksi biogas akan dihasilkan sisa kotoran ternak yang dapat langsung dipergunakan sebagai pupuk organik pada tanaman/budidaya pertanian.<br /><br /><strong>Potensi Pengembangan Biogas di Indonesia</strong><br /><br />Potensi pengembangan Biogas di Indonesia masih cukup besar. Hal tersebut mengingat cukup banyaknya populasi sapi, kerbau dan kuda, yaitu 11 juta ekor sapi, 3 juta ekor kerbau dan 500 ribu ekor kuda pada tahun 2005. Setiap 1 ekor ternak sapi/kerbau dapat dihasilkan + 2 m3 biogas per hari.<br /><br /><strong>Potensi Ekonomis Biogas</strong><br /><br />Potensi ekonomis Biogas adalah sangat besar, hal tersebut mengingat bahwa 1 m3 biogas dapat digunakan setara dengan 0,62 liter minyak tanah. Di samping itu pupuk organik yang dihasilkan dari proses produksi biogas sudah tentu mempunyai nilai ekonomis yang tidak kecil pula. (SF)<br /><br />Sumber : Dit.Pengolahan Hasil Pertanian,Ditjen PPHP - DeptanIndra Budhi Kurniawanhttp://www.blogger.com/profile/17162841739163569116noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9093363051534373576.post-16339343240334063392010-08-21T12:46:00.000+07:002010-08-21T12:48:25.281+07:00Dari Sampah Plastik Menjadi BateraiSatu lagi teknologi pengolahan sampah kantong plastik telah diciptakan. Kali ini akademisi dari Amerika Serikat yang bernama Dr. Vilas Pol mampu mengkonversi sampah kantong plastik menjadi salah satu komponen yang digunakan pada industri baterai lithium ion melalui teknologinya. Adapun metoda yang digunakannya adalah dengan mengolah sampah kantong plastik menjadi <em>carbon nantotubes</em>. <em>Carbon nanotubes</em> inilah yang selanjutnya digunakan sebagai komponen baterai tersebut.<br /><br />Dr. Pol mengatakan bahwa teknologi yang berhasil diciptakannya ini merupakan teknologi pengolahan sampah kantong plastik yang ramah lingkungan dan mampu menurunkan ongkos produksi pembuatan baterai. Selain untuk mengolah sampah kantong plastik, Dr. Pol meyakini bahwa teknologinya juga mampu mengolah sampah-sampah botol minuman yang terbuat dari plastik.<br /><br />Dengan teknologi ini diharapkan permasalahan sampah plastik di Amerika Serkat akan terbantu terselesaikan. Selain itu, sampah yang semula tidak berguna dapat dimanfaatkan untuk sarana menyimpan energi melalui baterai. Selain itu, degradasi sampah yang membutuhkan waktu ratusan tahun dapat diatasai.<br /><br />Sumber: www.doe.govIndra Budhi Kurniawanhttp://www.blogger.com/profile/17162841739163569116noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9093363051534373576.post-84061206133633610042010-07-18T21:20:00.005+07:002010-07-18T22:29:57.617+07:00Polemik Kenaikan TDL 2010TDL (Tarif Dasar Listrik) tengah menjadi pembicaraan hangat di tengah-tengah masyarakat. Penyebabnya adalah diumumkannya kenaikan TDL oleh pemerintah melalui Peraturan Menteri ESDM No. 7 Tahun 2010. Berbagai komentar muncul setelahnya. Sebagian besar, jika tidak mau dikatakan semuanya, bernada menentang kenaikan TDL tersebut. Ada yang menggunakan cara yang beradab hingga cara yang tidak pernah terbayangkan.<br /><br />Respon negatif atas kenaikan TDL tersebut jika ditelaah disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya komitmen pelayanan prima dari PLN masih dipertanyakan, hitungan kenaikan yang dipersepsikan tidak sama, dan yang lebih besar adalah berkaitan dengan komitmen perlindungan negara atas kepentingan warganya melalui mekanisme subsidi.<br /><br />Komitmen pelayanan prima dari PLN semenjak perombakan direksi baru memang sering kali diberitakan dengan manis oleh media. Maklum, dirut PLN yang baru berasal dari kalangan pers. Namun apa kenyataannya, di lapangan masih banyak dijumpai berbagai masalah yang sejak dulu masih "terpelihara" dengan baik. Meskipun dengan dalih tidak bisa menyelesaikan masalah seperti membalikkan telapak tangan serta yang tersisa adalah masalah-masalah lokal saja, fenomena yang ada masyarakat teresebut tetap nyata dan menjadi semacam amunisi untuk masayarakat menolak kenaikan TDL.<br /><br />Selain permasalahan komitmen prima, besaran kenaikan yang tidak transparan menjadi ganjalan dikalangan konsumen PLN khususnya kalangan industri. Melalui organisasi Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia), mereka mempermasalahkan besaran kenaikan TDL yang tidak sesuai dengan kesepakatan antara pemerintah, PLN serta Apindo sebesar 18 % dari tarif semula. Apindo mengklaim bahwa berdasarkan simulasi perhitungannya ada pengusaha yang mengalami kenaikan TDL hingga 40%. Namun, semua ini dibantah oleh pihak PLN melalui Kepala Divisi Niaga PLN. Menurutnya, perhitungan yang dilakukan Apindo tidak memasukkan unsur biaya beban yang berarti hanya membandingkan TDL lama dengan TDL baru yang telah dinaikkan. Contohnya adalah sebagai berikut misal untuk pelanggan I-1 sebelumnya dikenakan tarif sebesar Rp. 455-460 per kWh, sementara tarif baru sebesar Rp. 915 per kWh. Jika diamati kenaikan tarif tersebut lebih dari 50%. Namun, sebenarnya tarif lama masih mengandung besaran biaya beban sebesar Rp. 31.800 per bulan. Selain itu, perhitungan tarif lama untuk kalangan industri masih memasukkan tarif daya max dan tarif multi guna sementara pada perhitungan tarif baru tidak memasukkan tarif daya max dan tarif multiguna.<br /><br />Selain besaran tarif, Apindo juga mempermasalahkan payung hukum yang mendasari kenaikan TDL tahun 2010. Untuk kenaikan TDL pada tahun sebelumnya, yaitu tahun 2004, payung hukum yang mendasarinya adalah Keputusan Presiden (Keppres) No. 104 tahun 2003 sementara untuk kenaikan TDL tahun 2010 ditetapkan melalui Permen.<br /><br />Hal lain yang sangat besar implikasinya dari hanya sekedar kenaikan TDL adalah isu pencabutan subsidi disektor kelistrikan. Saat ini selain, kedua hal sebelumnya, muncul wacana bahwa kenaikan TDL ini disebabkan oleh semangat liberalisme sektor kelistrikan. Akibatnya harga listrik dipaksa untuk diarahkan mengikuti mekanisme harga pasar. Negara melalui pemerintah tidak akan lagi mempunyai kekuatan apapun untuk mengendalikan harga listrik jika upaya liberalisasi ini diwujudkan. Meskipun ini hanya isu, setidaknya wacana ini sungguh dirasakan oleh penulis. Padahal sudah jelas di Undang-Undang Dasar bahwa cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Sektor kelistrikan merupakan salah satu cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak.<br /><br />Akibat reaksi-reaksi tersebut, pemerintah melalui Menteri Koordinator Perekonomian merevisi besaran kenaikan TDL tersebut. Pemerintah berkomitmen bahwa kenaikan TDL untuk tahun 2010 tidak melebihi 18% dari tagihan sebelumnya yang menggunakan tarif tahun 2004. Meskipun demikian, bagi bangsa ini "perasaan" kenaikan TDL lebih berpengaruh besar dari besarnya angka kenaikan itu sendiri, bahkan berimbas pada tarif atau harga yang lain yang mungkin saja tidak ada kaitannya sama-sekali dengan TDL. Sungguh miris bagi penulis untuk mengamatinya.Indra Budhi Kurniawanhttp://www.blogger.com/profile/17162841739163569116noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9093363051534373576.post-74323953124454824712010-05-23T23:20:00.005+07:002010-05-23T23:45:30.620+07:00Menuju Ekonomi HidrogenKegiatan perekonomian dunia yang semakin dinamis membutuhkan sumber energi yang cukup dan tidak bergejolak berlebihan. Sebagai konsekuensi logis, manusia berusaha untuk memenuhi kondisi tersebut. Berbagai sumber energi primer telah dimanfaatkan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan akan energi. Dari berbagai sumber energi primer yang telah dimanfaatkan oleh manusia, hampir seluruhnya didominasi oleh bahan bakar yang berdasarkan karbon. Jika dilihat dari produksi minyak mentah sebagai wakil dari sumber energi primer, jumlahnya terus meningkat dari tahun ketahun.<br /><br /><br /><p align="center"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgcbxoY9WoGDuhyoGQUADwF5ZzcDs-Rt7qkC7wQhUza0FP1wj2bZCHZbyUg9InBbmIhzQ1vwHJaB0T3vI0ET6JIkSDGDgk26MHMBuYJdJWxsG5xLhpX-50PT4iwPcwJNYLqtBORbBjMrgQ/s1600/Produksi+Minyak+Mentah+Dunia.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5474502265021660226" style="WIDTH: 390px; CURSOR: hand; HEIGHT: 216px" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgcbxoY9WoGDuhyoGQUADwF5ZzcDs-Rt7qkC7wQhUza0FP1wj2bZCHZbyUg9InBbmIhzQ1vwHJaB0T3vI0ET6JIkSDGDgk26MHMBuYJdJWxsG5xLhpX-50PT4iwPcwJNYLqtBORbBjMrgQ/s320/Produksi+Minyak+Mentah+Dunia.jpg" border="0" /></a><span style="font-size:78%;"></span></p><p align="center"><span style="font-size:78%;"></span><span style="font-size:85%;"> Sumber: </span><a href="http://www.doe.gov/"><span style="font-size:85%;">www.doe.gov</span></a></p>Penggunaan bahan bakar berbasis karbon menghasilkan gas buang yang salah satunya adalah karbon dioksida. Seiring dengan meningkatnya penggunaan bahan bakar berbasis karbon tersebut, maka jumlah karbon dioksida yang dihasilkannya pun meningkat. Berikut ini grafik yang menggambarkan peningkatan jumlah karbon dioksida sebagai gas buang dari tahun ketahun.<br /><br /><br /><br /><br /><p align="center"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhfEEYiDp6WCrDpmaiiO12xWo7nF7bhHojiapGOTf-pquEK0YD3kHk-tri2n4_WWYE8U4-8m7I-oyhSfAmA4J_FNo9ie8EYIx3uy8N6zY0u9idOp8ikNKhNLI6ynqNiDHwGr0bVHZsGC5E/s1600/CO2+Emisi.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5474503222979453906" style="WIDTH: 402px; CURSOR: hand; HEIGHT: 228px" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhfEEYiDp6WCrDpmaiiO12xWo7nF7bhHojiapGOTf-pquEK0YD3kHk-tri2n4_WWYE8U4-8m7I-oyhSfAmA4J_FNo9ie8EYIx3uy8N6zY0u9idOp8ikNKhNLI6ynqNiDHwGr0bVHZsGC5E/s320/CO2+Emisi.jpg" border="0" /></a></p><span style="font-size:85%;"> Sumber: <a href="http://www.doe.gov/">www.doe.gov</a></span><br /><br />Seperti diketahui bahwa karbon dioksida merupakan unsur pembentuk yang paling utama dari gas rumah kaca yang dituding sebagai penyebab meningkatnya temperatur dunia. Fenomena tersebut saat ini menjadi perhatian utama segenap penduduk di muka bumi ini. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, berbagai alternatif pemecahan telah banyak dikembangkan. Salah satu alternatif yang hendak penulis kemukakan adalah peralihan paradigma ekonomi berdasarkan karbon menjadi paradigma ekonomi berdasarkan hidrogen.<br /><br /><strong>Ekonomi Beradasarkan Hidrogen</strong><br /><br />Paradigma ekonomi berdasarkan hidrogen adalah perilaku masyarakat yang mendasarkan pada hidrogen untuk memenuhi kebutuhan energinya dalam menggerakan aktifitas ekonomi. Perlunya perubahan paradigma ini didasarkan pada beberapa hal sebagai berikut: upaya penyelamatan lingkungan global, pencegahan polusi di tingkat lokal, polusi kebisingan, serta dalam upaya menjamin kebutuhan energi dunia. Seperti diketahui hidrogen merupakan salah satu elemen yang menghasilkan energi jika direaksikan dengan oksigen. Faktor lebih dari penggunaan hidrogen sebagai bahan bakar adalah menghasilkan gas buang air dan pengotor mikro lainnya, bukan karbon dioksida seperti yang dihasilkan oleh bahan bakar berbasis karbon. Oleh <em>Energy Saving Trust</em>, Inggris, digambarkan bahwa hidrogen merupakan bahan bakar yang menjanjikan untuk menghasilkan <em>zero carbon</em> pada moda transportasi.<br /><br />Sebenarnya penggunaan hidrogen sebagai bahan bakar sudah dilakukan sejak lama. Di Inggris, hidrogen dengan komposisi hingga 50% dijadikan bahan pencampur untuk gas kota pada tahun 1950-an. Selain itu, hidrogen juga telah digunakan sebagai bahan bakar roket. Jika dirunut lebih belakang lagi, ketertarikan akan penggunaan hidrogen sebagai bahan bakar sudah terjadi pada tahun 1800-an. Ketertarikan tersebut kembali muncul sekitar tahun 1970-an ketika terjadi krisis minyak dan kembali lagi pada tahun 1980-an setelah berkembangnya teknologi produksi dan penyimpanan hidrogen.<br /><br /><br /><strong>Teknologi Produksi Hidrogen</strong><br /><br />Hidrogen sebagai sumber bahan bakar merupakan elemen yang tidak disediakan dalam jumlah yang tidak melimpah dialam. Sifat hidrogen sebagai bahan bakar mirip dengan energi listrik yaitu sebagai pemabawa energi (<em>energy carrier</em>). Maksud dari hidrogen sebagai pembawa energi adalah hidrogen sebagai bahan bakar memerlukan sumber energi lain sebagai pembangkitnya sehingga hidrogen seolah-olah membawa energi yang berasal dari sumber energi pembangkitnya.<br /><br />Hidrogen dapat dibangkitkan dari beberapa sumber antara lain dari hidrokarbon (batubara, minyak bumi, dan gas alam), limbah biomassa, serta air yang kemudian dielektrolisis. Arus listrik yang digunakan untuk elektrolisis dapat berasal dari pembakaran bahan bakar fosil, nuklir maupun bahan bakar terbarukan. Industri petrokimia dan pengilangan minyak bumi merupakan konsumen terbesar hidrogen saat ini. Kedua industri tersebut menggunakan hidrogen sebagai bahan mentah untuk produksi maupun untuk keperluan proses lainnya.<br /><br />Dalam proses produksi hidrogen dari bahan bakar fosil, akan dihasilkan karbon dioksida (CO<em>2</em>) sebagai produk lain selain hidrogen itu sendiri. Meskipun demikian, beberapa peneliti memperkirakan bahwa karbon dioksida yang dihasilkan tidak lebih besar jika dibandingkan pembakaran bahan bakar fosil secara langsung. Saat ini, mulai dikembangkan beberapa metoda maupun teknologi yang memungkinkan untuk menangkap CO<em>2</em> seperti <em>biological sink</em> maupun <em>geological</em> sink.<br /><br />Teknologi produksi hidrogen yang ada saat ini antara lain <em>steam reforming</em>, oksidasi parsial, elektrolisis, rute biologis dan teknologi fotoelektrolisis. <em>Steam reforming</em> merupakan teknologi produksi hidrokarbon yang menggunakan hidrokarbon sebagai bahan bakunya. Hidrokarbonnya dapat berasal dari bahan bakar fosil maupun dari gasifikasi biomassa. Oksidasi parsial merupkan teknologi produksi hidrogen yang digunakan untuh bahan baku yang berasal dari hidrokarbon berat seperti minyak bumi dan batubara. Elektrolisis merupakan teknologi produksi hidrogen yang paling tua yang berusia hampir 80 tahun. Teknologi ini akan ekonomis jika harga listrik murah. Rute biologis merupakan teknologi produksi hidrogen melalui pembiakan beberapa jenis alga dan bakteri. Alga dan bakteri tersebut mampu menghasilkan hidrogen melalui proses fotosintesis maupun fermentasi. Sementara itu, teknologi fotoelektrolisis merupakan teknologi elektrolisis yang sumber energi listriknya berasal dari energi matahari.<br /><br />Dari sini dapat diketahui ekses CO2 dari proses produksi hidrogen dapat dikurangi secara signifikan jika dihasilkan melalui elektrolisis dengan energi nuklir maupun sumber-sumber renewable. Saat ini, hampir sekitar 95% produksi hidrogen berasal dari hasil reformasi gas alam.<br /><br />Isu kunci yang mempengaruhi produski hidrogen saat ini ada beberapa hal, antara lain :<br /><br /><br /><ul><li><em>Steam reforming</em> dan elektrolisis merupakan jalur produksi yang sudah dilakukan secara komersial dan memiliki peranan yang penting dalam jangka pendek dan menengah untuk memenuhi permintaan energi dari hidrogen. Proses ini cocok untuk awalan saja, untuk memenuhi kebutuhan pasar nantinya sangat tidak memungkinkan.</li><li>Saat ini hidrogen lebih mahal dari bahan bakar konvensional. Namun hal ini akan bisa diatasi dimasa depan dengan adanya pembebasan pajak serta teknologi produksi dan penyimpanan hidrogen dapat dicapai dengan baik.</li><li>Sumber energi yang akan habis dan isu reduksi gas rumah kaca dalam kurun menengah dan panjang akan menimbulkan masa transisi teknologi rendah dan pengurang CO2.<br /></li></ul><p><strong>Teknologi Penyimpanan dan Infrastruktur Distribusi</strong></p><p>Selain teknologi produksi, teknologi penyimpanan dan infrastruktur untuk pendistribusian merupakan hal yang menjadi pemikiran dalam perubahan paradigma ekonomi ini. Teknologi penyimpanan hidrogen dapat melalui beberapa cara antara lain; <em>compressed gas</em>, <em>liquid hydrogen</em> dan <em>chemical storage</em>. <em>Compressed gas</em> merupakan teknologi penyimpanan hidrogen dengan cara ditekan hingga 200 bar. <em>Liquid hydrogen</em> merupakan teknologi penyimpanan hidrogen pada temperatur -253 0C dalam <em>insulated pressure vessel.</em> Sementara itu penyimpanan hidrogen dengan <em>chemical storage</em> merupakan teknologi penyimpanan yang memanfaatkan <em>metal hydrides</em> sebagai tempat penyimpanan hidrogen. <em>Metal hydrides</em> merupakan <em>metal alloys</em> yang mampu mengikat hidrogen pada permukaannya dan akan melepaskan hidrogen jika metal tersebut dipanaskan.<br /></p><p>Saat ini, lokasi produksi hidrogen hampir selalu berdekatan dengan unit ataupun perusahaan yang membutuhkannya. Jika butuh didistribusikan untuk tempat yang jauh dengan lokasi produksi, hidrogen ditransportasikan dengan menggunakan truk <em>liquid hydrogen</em>, jaringan pipa atau dengan menggunakan tangki bertekanan. Untuk distribusi dalam jangka panjang perlu dipikirkan juga tanker untuk mengangkut <em>cryogenic hydrogen liquid</em>.<br /></p>Untuk alat transportasi atau kendaraan bermotor, infrastruktur untuk pengisian ulang memerlukan investasi yang khusus. Dalam pembangunannya dalam tahap awal, hal-hal yang harus diperhatikan dalam pembangunan antara lain jumlah kendaraan, letak geografis konsumen, serta promosi penggunaan hidrogen sebagai bahan bakar.<br /><br /><strong>Pengguna Akhir</strong><br /><strong></strong><br />Hidrogen dapat digunakan untuk berbagai keperluan pembangkitan energi. Hidrogen dapat digunakan untuk membangkitkan listrik melalui <em>fuel cell</em> maupun dibakar secara langsung. Untuk kendaraan bermotor, hidrogen dapat langsung dibakar pada <em>internal combustion engine</em> (ICE) seperti bahan bakar yang berasal dari minyak bumi ataupun gas alam. Selain itu, hidrogen dapat digunakan sebagai sumber energi untuk kendaraan bermotor yang menggunakan <em>fuel cell</em>. Penggunaan hidrogen sebagai sumber tenaga <em>fuel cell</em> dapat meningkatkan efisensi hingga 45% dari 25%.<br /><br /><strong>Safety </strong><br /><br />Beberapa peneliti mengatakan bahwa kendaraan bermotor yang menggunakan hidrogen sebagai bahan bakar jauh lebih aman ketika bertabrakan jika dibandingkan dengan kendaraan yang menggunakan bahan bakar yang berasal dari minyak bumi. Hal ini disebabkan hidrogen mudah menguap jika berada ditempat terbuka. Asalkan tidak ada komponen dari segitiga api, ledakan maupun kebakaran tidak akan terjadi.<br /><br /><strong>Transisi Ekonomi Hidrogen</strong><br /><br />Harus diakui bahwa transisi menuju ekonomi hidrogen penuh ketidakpastian dan juga tidak bisa dihindari. Hal ini disebabkan transisi ekonomi hidrogen membutuhkan infrastruktur dengan investasi yang cukup besar. Beberapa analis memperkirakan bahwa setidaknya ada dua penyebab utama yang memperlambat proses transisi ekonomi hidrogen. Penyebab utama tersebut antara lain: hidrogen membutuhkan biaya yang cukup tinggi karena membutuhkan jalur distribusi yang cukup banyak; untuk kendaraan bermotor, membutuhkan infrastruktur yang cukup banyak. Oleh karena itu, rencana yang baik dan terstruktur dari pemangku kepentingan akan sangat dibutuhkan dalam transisi ekonomi hidrogen.Indra Budhi Kurniawanhttp://www.blogger.com/profile/17162841739163569116noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9093363051534373576.post-28425798646328899802010-04-01T22:36:00.001+07:002010-04-01T22:48:35.314+07:00Indonesia-Korea Sepakat Meningkatkan Kerjasama di Bidang EnergiJAKARTA. Pertemuan ketiga Indonesia-Korea Energy Forum (IKEF) yang berlangsung 25-26 Maret lalu di Seoul, Korea, difokuskan pada kerja sama yang potensial dikembangkan di masa depan serta evaluasi terhadap kerja sama yang telah terjalin selama ini. Kedua pihak berkomitmen untuk meningkatkan kerjasama yang selama ini sudah terjalin.<br /><br />Kerja sama yang telah terjalin antara Indonesia dan Korea dalam bidang migas, antara lain pengembangan Blok Madura dan Poleng yang merupakan kerja sama PT Pertamina dan Kodeco serta PT Pertamina dan SK Energy yang berkolaborasi di hilir migas. Beberapa bidang kerjasama yang potensial untuk dikembangkan di masa depan, antara lain pengembangan dimetil eter (DME) sebagai minyak baru, pengembangan lapangan migas marjinal, CBM, batu bara dan penelitian bersama biofuel generasi kedua.<br /><br />Pada kesempatan tersebut, Delegasi Korea menyampaikan harapannya agar dapat melanjutkan kerja sama mensosialisasikan pembangkit listrik tenaga nuklir di Indonesia.<br /><br />Pertemuan ketiga IKEF dihadiri oleh 155 pejabat pemerintah dan pengusaha dari kedua negara. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Dirjen Migas Kementerian ESDM Evita H. Legowo. Sedangkan Delegasi Korea dipimpin Deputi Menteri Energi dan Kebijakan Sumber Daya Alam Kim Junggwan.<br /><br />Penyelenggaraan The 3rd IKEF ini bersamaan dengan pertemuan The 2nd Joint Task Force (JTF) Indonesia-Korea. Ini merupakan wadah pertemuan bilateral Indonesia-Korea yang membahas mengenai kemajuan atau perkembangan yang meliputi pembicaraan dari berbagai kementerian atau unit terkait dan diikuti oleh pemerintah serta swasta. Bertindak sebagai focal point kegiatan JTF adalah Kemenko Perekonomian RI bersama dengan Ministry of Knowledge of Economy (MKE) Republik Korea.<br /><br />Kerja sama bilateral Indonesia-Korea Selatan dimulai pada tahun 1979. Pertemuan tersebut membahas kebijakan-kebijakan di bidang energi diantara kedua negara, perdagangan LNG, minyak mentah, hasil kilang, batu bara dan kerja sama dalam pengembangan minyak, gas bumi, batu bara dan tenaga listrik. Pada periode 1979-2006, Indonesia dan Korea telah melaksanakan pertemuan bilateral sebanyak 21 kali yang terbentuk dalam Joint Committee on Energy.<br /><br />Pada 4 Desember 2006 bersamaan dengan Joint Committee ke 22, disepakati untuk lebih meningkatkan dan mengintensifkan kerja sama sektor energi yang melibatkan swasta dari kedua negara. Ini ditandai dengan kesepakatan pembentukan Energy Forum yang diharapkan menjadi wadah baru bagi kerja sama Indonesia-Korea, menggantikan Joint Committee.<br /><br />Sumber: <a href="http://www.esdm.go.id/">www.esdm.go.id</a>Indra Budhi Kurniawanhttp://www.blogger.com/profile/17162841739163569116noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9093363051534373576.post-51844183107610148252009-11-05T09:05:00.000+07:002009-11-05T09:07:51.713+07:00Program Desa Mandiri Energi (DME) Departemen ESDMJAKARTA. Indonesia merupakan Negara besar dengan 33 provinsi dan memiliki tidak kurang dari 70 ribu desa. Saat ini 45% dari desa tersebut dikategorikan sebagai Desa Tertinggal yang ditandai dengan terbatasnya akses masyarakat terhadap energi.<br /><br />Depertemen ESDM sebagai departemen teknis yang menangani energi telah melaksanakan program Desa Mandiri Energi (DME) yaitu, program penyediaan energi dengan memanfaatkan potensi energi setempat baik berbasis Bahan Bakar Nabati (BBN) maupun non-BBN dengan teknologi yang dapat dioperasikan oleh masyarakat setempat.<br /><br />Program DME dimaksudkan untuk sebagai entry point dalam kegiatan ekonomi pedesaan pertama kalinya diluncurkan oleh Presiden RI di Desa Grobogan, Jawa Tengah pada tahun 2007 dan terus dilanjutkan didesa-desa lainnya. Akhir pada akhir tahun 2009 ini diharapkan terbentuk 850 DME dan ditargetkan hingga akhir 2014 nanti ditargetkan terbentuk 3.000 DME.<br /><br />Dalam perkembangannya, Program DME mulai memanfaatkan teknologi energi baru terbarukan seperti, mikrohidro, angin dan surya sebagai pembangkit energi alternatif. waktu itu dikenal dengan istilah “Desa Energi Terbarukan”. Beberapa Desa Energi Terbarukan yang dikembangkan Departemen ESDM berhasil mendapat penghargaan ditingkat ASEAN diantaranya, PLTMH Cicurug Garut, PLTMH Malang. Desa Energi Terbarukan merupakan cikal bakal Desa Mandiri Energi.<br /><br />DME merupakan alternatif pemecahan masalah penyediaan energi. Disamping itu pengembangan Program DME diharapkan dapat mengurangi tingkat kemiskinan (Pro-Poor), memperkuat ekonomi nasional (Pro-Growth) dan memperbaiki lingkungan (Pro-Planet).<br /><br />Sumber: <a href="http://www.esdm.go.id/">www.esdm.go.id</a>Indra Budhi Kurniawanhttp://www.blogger.com/profile/17162841739163569116noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9093363051534373576.post-30402844090607474442009-11-05T09:02:00.001+07:002009-11-05T09:04:49.415+07:00Konferensi West Sussex Rumuskan Strategi Mensukseskan UN Climate Change ConferenceJAKARTA. Sebuah konferensi internasional tentang energi terbarukan dan efisiensi energi kembali digelar pada 14-17 September 2009 lalu di Wilton Park, West Sussex, Inggris. Konferensi tersebut merupakan agenda tahunan dari Renewable Energy and Energy Efficiency Partnership (REEP). Konferensi yang mengusung tema “Renewable Energy and Energy Efficiency: Practical Strategies for Making Copenhagen A Success” itu bertujuan untuk mewujudkan komitmen bersama sehingga United Nations Climate Change Conference yang akan diadakan di Copenhagen, Denmark pada Desember 2009 dapat mencapai hasil yang diinginkan.<br /><br />Pada konferensi tersebut disepakati bahwa urgensi dari tantangan yang dihadapi dalam pengembangan energi terbarukan dan efisiensi energi memerlukan kesepakatan internasional. Negara-negara maju penghasil emisi tinggi harus memiliki komitmen untuk mencapai target pengurangan emisi jangka panjang maupun menengah. Sementara itu, dibutuhkan pula respon yang tepat dari negara-negara berkembang serta perhatian kepada negara-negara belum berkembang yang membutuhkan akses keuangan maupun teknologi untuk membantu pembangunan dan penerapan kebijakan mitigasi perubahan iklim.<br /><br />World Economic Outlook 2008 mencatat, pertumbuhan energi primer sebesar 1,6% per tahun akan meningkatkan konsumsi energi primer menjadi 45% pada tahun 2030. Menurut International Energy Agency (IEA), skenario ini membutuhkan investasi sekitar US$ 1 triliun per tahun. Investasi ini turut menentukan besarnya emisi yang dihasilkan pada beberapa dekade mendatang sesuai jenis teknologi yang dipilih.<br /><br />Sejauh ini, efisiensi energi menjadi pilihan utama negara berkembang maupun negara maju dalam mengatasi dampak perubahan iklim. Dalam hal ini, pemerintah dapat mengambil peran penting dengan menyediakan kebijakan dan peraturan yang sejalan seperti feed-in tariff dan mekanisme pendanaan yang tepat sehingga dapat menstimulasi swasta untuk berinvestasi di bidang energi terbarukan. Inisiatif swasta dalam investasi pada teknologi ramah lingkungan dan efisiensi energi akan mendorong penurunan harga energi terbarukan, menurunkan laju emisi gas rumah kaca, serta menyediakan akses energi modern bagi masyarakat.<br /><br />Bagi beberapa negara, energi rendah karbon (low carbon energy) adalah opsi paling tepat untuk pembangkitan energi. Advanced Market Commitements (AMCs) untuk energi rendah karbon dapat digunakan untuk menjamin pasar dan harga “teknologi hijau”.<br /><br />Sumber: <a href="http://www.edm.go.id/">www.edm.go.id</a>Indra Budhi Kurniawanhttp://www.blogger.com/profile/17162841739163569116noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9093363051534373576.post-43701482891236629042009-11-04T12:26:00.000+07:002009-11-04T12:28:51.966+07:00ASEAN Tindaklanjuti Ratifikasi Protokol KyotoJAKARTA. Dalam pertemuan 2nd ASEAN+3 CDM Experts Capacity Building yang berlangsung di Bangkok, Thailand tanggal 28 September hingga 2 Oktober 2009 yang lalu negara-negara ASEAN selaku negara Non-Annex I telah menindaklanjuti ratifikasi Protokol Kyoto dengan berbagai upaya, diantaranya membentuk institusi seperti DNA (Designated National Authority) dengan koordinator dari Kementerian Lingkungan Hidup.<br /><br />Menyusun rencana aksi nasional perubahan iklim termasuk sektor energi, dan meningkatkan pengembangan EBT dalam proyek CDM (biomasa, biogas) juga merupakan upaya yang dilakukan negara-negara ASEAN. Disamping itu Korea dan Jepang selaku negara Annex I berkomitmen untuk menindaklanjuti ratifikasi Protokol Kyoto dengan meningkatkan penurunan emisi GHG-nya (Jepang dari 15% menjadi 25%) dan memperluas penyebaran proyek CDM-nya ke negara ASEAN tidak hanya ke Cina.<br /><br />Berlangsungnya pertemuan ini memberikan gambaran makin meningkatnya perhatian negara-negara ASEAN+3 dalam mengurangi konsumsi energi fosil dan upaya-upaya pengembangan EBT melalui proyek CDM.<br /><br />Acara pertemuan yang dibuka oleh Direktur Eksekutif ACE dihadiri perwakilan Kementerian Energi Thailand dan KEMCO serta 22 peserta dari dari 11 delegasi negara-negara anggota ASEAN+3, menampilkan 9 pembicara dari Thailand, Korea, Philipina, dan Malaysia.<br /><br />Sumber: <a href="http://www.esdm.go.id/">www.esdm.go.id</a>Indra Budhi Kurniawanhttp://www.blogger.com/profile/17162841739163569116noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9093363051534373576.post-49358147080966050092009-11-04T12:20:00.002+07:002009-11-04T12:24:27.259+07:00THE SECRETARY-GENERAL : THE SECRETARY-GENERAL FOR THE PRESERVATION OF THE OZONE LAYER<strong>16 September 2009</strong><br /><br />Pembangunan berkelanjutan sebagian besar tergantung pada pelaksanaan tujuan, target dan lingkungan disepakati pelaksanaan tujuan dan sasaran. Di antara sejumlah besar kesepakatan lingkungan multilateral yang disepakati antar negara selama 40 tahun berjalan, Konvensi Wina untuk Perlindungan Lapisan Ozon dan khususnya Protokol Montreal yang paling menonjol. Instrumen ini menjadi jalan untuk memperbaiki dan memulihkan perisai pelindung bumi dengan mekanisme pendanaan dan telah dilaksanakan dapat menjadi contoh inspirasi.<br /><br />Peringatan tahun ini menandai tonggak lain, dengan dilakukannya deposit instrumen dari pencapaian Konvensi dan Protokol oleh negara demokrasi termuda di dunia, Timor-Leste. Sampai hari ini, negara tersebut merupakan satu-satunya yang tersisa yang belum meratifikasi Protokol Montreal. Sekarang, Konvensi Wina dan Protokol Montreal telah mencapai keikutsertaan secara universal - merupakan status yang khusus dan unik diantara ratusan perjanjian yang telah diserahkan pada Sekretaris Jenderal. Tindakan Timor-Leste memberikan sinyal yang kuat untuk solidaritas global, tidak hanya untuk mengatasi penipisan ozon tetapi untuk mengatasi tantangan multilateral lain yang mendesak, termasuk perubahan iklim.<br /><br />Pengumpulan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa penghapusan bahan yang dikenal sebagai chlorofluorocarbon atau CFC sejak tahun 1990, meringankan gerakan dibidang perubahan iklim sepanjang 12 tahun. Kerjasama internasional tentang CFC merupakan afirmasi yang tepat waktu, melalui kesatuan tujuan dan tindakan, kita dapat meminimalkan risiko terhadap planet kita dan membangun dunia yang lebih aman untuk generasi mendatang. Ini adalah pelajaran bahwa kita harus mengambil intisari pada saat kita mempersiapkan Konferensi Perubahan Iklim di Kopenhagen pada bulan Desember.<br /><br />Beberapa minggu yang lalu, para ahli dari Protokol Montreal dan Konvensi Kerangka Kerja PBB (UNFCCC) dan Protokol Kyoto bertemu di Jenewa, Swiss untuk memetakan strategi pada sekelompok bahan kimia yang dapat menyebabkan perubahan iklim. Hidrofluorokarbon atau HFC, yang secara luas digunakan sebagai pengganti BPO pada pembuatan busa, bahan pendingin dan AC, dapat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perubahan iklim di tahun 2050, sehingga mengganggu upaya untuk mengurangi gas rumah kaca, terutama karbon dioksida dan metana dari pembakaran bahan bakar fosil dan deforestasi.<br /><br />Dengan bekerja secara bersama-sama, perjanjian tentang ozon dan iklim dapat melipatgandakan dampaknya bagi pembangunan berkelanjutan. Keuntungan lain mungkin termasuk peningkatan efisiensi energi dalam proses industri dan peralatan rumah tangga, dan memperluas agenda tentang bahan kimia, termasuk di bidang pengelolaan limbah dan kesehatan manusia.<br /><br />Hari Ozon Internasional bagi Perlindungan Lapisan Ozon datang menjelang 80 hari sebelum konferensi iklim di Kopenhagen. Para Pemerintah harus menggunakan kesempatan itu untuk mengesahkan kesepakatan yang ambisius, komprehensif dan perjanjian tentang iklim yang baru dan adil. Tanpa tindakan pada perubahan iklim, dunia akan menghadapi gangguan sosial, ekonomi dan lingkungan. Contoh yang ditunjukkan oleh Protokol Montreal mengirimkan pesan yang kuat bahwa tindakan terhadap tantangan global utama tidak hanya mungkin, tetapi bahwa keuntungan keuangan dan manusia selalu lebih besar daripada biaya.<br /><br />Sumber : ozonaction, <a href="http://www.uneptie.org/ozonaction">www.uneptie.org/ozonaction</a>Indra Budhi Kurniawanhttp://www.blogger.com/profile/17162841739163569116noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9093363051534373576.post-21613652433277189382009-11-04T12:13:00.002+07:002009-11-04T12:19:29.746+07:00Krisis Listrik Sumut Teratasi Secara BertahapMEDAN - PT PLN (Persero) menyatakan krisis pasokan listrik di wilayah Sumatera Utara (Sumut) telah teratasi secara bertahap dengan masuknya tambahan daya sejumlah pembangkit listrik. ''Saat ini sudah tidak ada pemadaman lagi, daya mampu listrik Sumut sudah terpenuhi dengan reserve margin (cadangan listrik) yang masih pas-pasan. Pada akhir 2009, awal 2010 hingga 2011 akan masuk lagi sejumlah pembangkit baru'' kata Plt Direktur Luar Jawa-Bali PT PLN yang juga menjabat Direktur Jawa-Bali, Murtaqi Syamsuddin usai Launching Sentralisasi Billing dan Layanan Terpadu (ATM, SMS dan Banking) serta PT Pos di Medan, Jumat (30/10).<br /><br />Menurut Murtaqi, pada akhir 2009 ini sistem Sumut akan mendapat tambahan pasokan listrik sebesar 330 Megawatt (MW) yaitu Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Labuhan Angin, Sibolga berkapasitas 2x115 MW dan task force pembangkit di sekitar Sumut berkapasitas 105 MW. Selanjutnya, pada 2010 akan masuk pasokan listrik sebesar 180 MW dari Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Asahan I berkapasitas 2x90 MW. "PLTA Asahan ini akan masuk ke sistem Sumut mulai Februari 2010," ujar Murtaqi.<br /><br />Dia mengatakan, setelah itu juga akan masuk PLTU Pangkalan Susu, Langkat, Sumut sebesar 400 MW yang merupakan bagian dari program percepatan PLTU 10.000 MW tahap pertama. "Dari planing sudah terlihat jelas tambahan pasokan listrik sejak akhir 2009 ini hingga dua tahun ke depan. Apakah itu nantinya mencukupi atau tidak bergantung pertumbuhan beban pada tahun-tahun selanjutnya," kata Murtaqi.<br /><br />Pertumbuhan beban listrik di Sumut, lanjut dia, bila dilepas akan semakin tinggi mencapai 9-11 persen per tahunnya. Apalagi proses industrialisasi khususnya di Medan, Riau dan Aceh terus tumbuh. "Kita harapkan setelah 2011 nanti, kondisi sistem kelistrikan di Sumatera semakin handal" katanya.<br /><br />Sebab dengan selesainya sistem interkoneksi dari Sumut ke Sumbangteng (Sumbar dan Riau hingga Aceh) dapat dilakukan transfer daya sudah bisa dilakukan dengan didukung kehadiran pembangkit-pembangkit baru tersebut, sehingga mendorong percepatan pembangunan perekonomian daerah. "Hal ini juga didukung dengan sistem interkoneksi Sumatera. Sebelum 2012 nanti sistem interkoneksi 275 KV dari Sumbagsel hingga Sumbagteng sudah selesai," ujarnya.<br /><br />Sementara itu, General Manager PT PLN Wilayah Sumut, Manerep Pasaribu, mengungkapkan sejak 2008 lalu, sistem kelistrikan di Sumut telah memperoleh transfer daya (swap) dari PT Inalum sebesar 45 MW dari kontrak 90 MW. "Kita dapatkan swap dari Inalum untuk beban puncak pada malam hari," tuturnya. Bahkan, pada 2009 ini PLN di sistem Sumut telah membantu transfer daya ke sistem Sumbar dan Riau sekitar 20-60 MW.<br /><br />Selain itu, secara bertahap PLN Sumut memperbaiki pembangkit sehingga dapat menambah kapasitas pasokan listriknya.Menurut dia, saat ini tercatat daya mampu sistem mencapai 1.357 MW dengan beban puncak 1.251 MW. "Jadi daya mampu saat ini dengan permintaan masih pas-pasan dan cadangan masih di bawah 20 persen. Karena itu, kita berupaya keras untuk mempercepat masuknya tambahan daya ke depan," ujar Manerep.<br /><br />Selanjutnya, pada akhir 2011, sistem Sumut akan memperoleh tambahan daya PLTU Meulaboh 2x100 MW. Artinya, pada 2010-2011, total daya tambahan listrik mencapai 780 MW.Kemudian prospek tambahan pembangkit setelah 2012, akan memperoleh tambahan 4 pembangkit listrik swasta (Independent Power Producer/IPP) masing-masing dari PLTU Kuala Tanjung 2x125 MW, PLTP Sarulla Unit 1 sebesar 110 MW, PLTP Sarulla Unit 2 sebesar 110 MW, serta pengoperasian PLTA Asahan III berkapasitas 2x87 MW.<br /><br />"Ke depan, sistem kelistrikan di Sumut akan semakin bagus lagi dengan tambahan daya dari sejumlah pembangkit baru, maka tidak ada lagi pemadaman bergilir," ujar Manerep.<br /><br /><strong>Subsidi</strong><br /><br />Dengan masuknya sejumlah pembangkit berbahan bakar non BBM tersebut menurut Manerep, pihaknya mampu menekan jumlah subsidi sebesar Rp 3 triliun atau turun dari Rp 8 triliun menjadi Rp 5 triliun pada 2009 ini."Di samping menekan jumlah subsidi, pendapatan kita dari pelanggan naik menjadi Rp 330 miliar per bulan. Jumlah ini mencapai 4 persen dari seluruh pendapatan PLN," ujarnya.<br /><br />Manerep menambahkan, saat ini rasio elektrifikasi di wilayah Sumut telah mencapai 80 persen dengan jumlah pelanggan mencapai 2,5 juta pelanggan. Sedangkan target penyambungan listrik baru bagi pelanggan sebesar 57.000 pada 2009 ini.<br /><br /><strong>Operasi P2TL</strong><br /><br />Sementara terkait kegiatan Penertiban Pemakaian Tenaga Listrik (P2TL) di wilayah Sumut, Manerep mengatakan, pihaknya menindak lebih dari 5.000 kasus pelanggaran pemakaian listrik ilegal selama 2008-2009 yang berasal dari kalangan industri, real estate maupun rumah tangga biasa. Dari operasi P2TL tersebut, PLN berhasil menyelamatkan uang negara mencapai Rp 12 miliar melalui tagihan susulan dan ganti rugi dari penggunaan listrik secara ilegal.<br /><br />"Kita mendapat penghargaan terbaik P2TL tingkat nasional dengan jumlah menangani lebih dari 5.000 kasus dan jumlah pengembalian uang negara hingga Rp 12 miliar," katanya.<br /><br />Selain itu, kata Manerep, jajarannya juga mampu menekan losses (susut daya) menjadi 9,3 persen (single digit) pada 2009 ini, dari losses tahun-tahun sebelumnya yang berkisar di atas 10 persen (double digit). "Dua tahun lalu losses masih double digit, kita berhasil menurunkan losses hingga 9,3 persen dari target tahun ini 9,07 persen. Kita yakin dapat capai target ini. Kunci keberhasilan kita didasari totalitas kerja tim yang bersih dan tegas," ujarnya.<br /><br />Sumber: <a href="http://www.esdm.go.id/">www.esdm.go.id</a>Indra Budhi Kurniawanhttp://www.blogger.com/profile/17162841739163569116noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9093363051534373576.post-21304669959644497782009-11-04T12:07:00.000+07:002009-11-04T12:09:10.878+07:00Carbon Capture and Storage (6) : Implementasi CCS di IndonesiaJAKARTA. Carbon Capture and Storage (CCS) merupakan salah satu teknologi mitigasi pemanasan global dengan cara mengurangi emisi CO2 ke atmosfer. Teknologi ini merupakan rangkaian pelaksanaan proses yang terkait satu sama lain, mulai dari pemisahan dan penangkapan CO2 dari sumber emisi gas buang (capture), pengangkutan CO2 tertangkap ke tempat penyimpanan (transportation), dan penyimpanan ke tempat yang aman (storage).<br /><br />Dalam penerapan CCS di Indonesia, setidaknya terdapat tiga hal pokok yang perlu diperhatikan, yaitu keberadaan sumber CO2 yang signifikan, tempat penyimpanan yang sesuai, dan dapat memenuhi kriteria ekonomi dan politis.<br /><br />Menurut konvensi Protokol Kyoto Indonesia termasuk ke dalam kelompok anggota yang tidak berkewajiban untuk menurunkan emisi (non-Annex-1), sehingga penerapan CCS sebagai pengurang emisi CO2 untuk keperluan mitigasi perubahan iklim tidak merupakan keharusan. Namun demikian, perkembangan negosiasi sejak COP-13 di Bali akhir tahun 2007 menyepakati bahwa negara anggota akan melakukan pengurangan emisi CO2 secara signifikan.<br /><br />Negosiasi informal di luar konvensi dan COP-UNFCCC seperti Major Economies Forum (MEF) sepakat untuk berupaya menjaga agar kenaikan temperatur rata-rata tidak melebihi 2oC pada tahun 2050. Kesepakatan ini dapat diterjemahkan bahwa untuk mencapai target tersebut, negara-negara maju harus menurunkan emisinya sebanyak 85% dari baseline 1990 dan negara-negara berkembang sebesar 50% dari BAU hingga tahun 2050.<br /><br />Dengan perkembangan ini, Indonesia sebagai salah satu negara berkembang (non-Annex-1) yang tergolong Major Economy terbebani oleh moral politis untuk ikut mengoptimalkan penurunkan CO2. Di sisi lain, mengingat mahalnya biaya CCS, penerapan CCS murni untuk keperluan mitigasi masih belum diaplikasikan di Indonesia. CCS baru diterapkan di Indonesia bila memberikan nilai tambah untuk dapat mengkompensasi biaya tersebut.<br /><br />Sumber: <a href="http://www.esdm.go.id/">www.esdm.go.id</a>Indra Budhi Kurniawanhttp://www.blogger.com/profile/17162841739163569116noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9093363051534373576.post-17925862726521514932009-11-04T12:01:00.001+07:002009-11-04T12:05:59.938+07:00Pemerintah Segera Bentuk Tim untuk Mempercepat Penyelesaian Proyek Pembangkit Listrik Swasta (IPP)JAKARTA.Sekitar 50 proyek pembangkit listrik swasta (Independent Power Producer/IPP) mengalami hambatan dalam pembangunannya. Guna mempercepat penyelesaiannya Pemerintah segera membentuk Tim Percepatan Penyelesaian Proyek IPP dengan tugas utama mengatasi hambatan yang terjadi.<br /><br />''Saat ini sekitar 50 proyek IPP yang sudah berjalan terhenti karena berbagai kendala dilapangan, seperti kenaikan harga bahan-bahan EPC (Engineering Procurement and Contract). Walaupun dikontrak sudah ada formula adjustment tapi tidak cukup untuk meng-cover perubahan itu,'' ujar Dirjen Listrik dan Pemanfaatan Energi, J Purwono seusai acara Pelepasan Jamaah Haji pegawai Departemen ESDM, Senin (2/11) di Jakarta.<br /><br />Menurut J. Purwono, proyek-proyek tersebut sayang jika dihentikan karena merupakan aset nasional dan sudah menelan dana investasi. Oleh sebab itu perlu di lakukan renegosiasi antara PT PLN dengan investor proyek IPP untuk mendapatkan solusi terbaik. Selain itu proyek pembangkit listrik ini berkaitan dengan hajat hidup masyarakat luas.<br /><br />Diuraikan oleh Dirjen LPE, J Purwono untuk menyelesaikan kendala dan permasalahan yang ada PT PLN memerlukan dukungan dari instansi lain. Tim lintas Departemen yang akan dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden ini seperti Tim Keppres 133 tahun 2000.<br /><br />Tugas tim yang akan dibentuk oleh Presiden tersebut adalah menfasilitasi PT PLN dengan IPP untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi. Caranya dengan renegosiasi terkait dengan masalah harga maupun term of conditions. Berdasarkan pola ini diharapkan PT PLN tidak ragu-ragu dalam mengambil keputusan terkait penyelesaian proyek IPP tersebut.<br /><br />Proyek-proyek IPP yang mengalami hambatan kapasitasnya mencapai sekitar 500 MW. Proyek-proyek ini tersebar di luar Pulau Jawa. Beberapa unit dari proyek-proyek pembangkit listrik swasta atau IPP ini bahkan sudah ada yang beroperasi.<br /><br />Sumber: <a href="http://www.esdm.go.id/">www.esdm.go.id</a>Indra Budhi Kurniawanhttp://www.blogger.com/profile/17162841739163569116noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9093363051534373576.post-67705294887603880832009-11-04T11:54:00.000+07:002009-11-04T12:00:14.486+07:00DESDM Selenggarakan “APEC Energy Capacity Building on Indonesia”JAKARTA. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (DESDM) c.q. Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) DESDM bekerja sama dengan APEC EGEDA (Asia Pacific Economis Country, Expert Group on Energy Data and Analysis) sebagai koordinator kerjasama pertukaran data Asia Pacific, menyelenggarakan Workshop “APEC Energy Capacity Building on Indonesia”, bertempat di Hotel Millenium, Jakarta, Selasa s.d. Kamis, 3-5 November 2009.<br /><br />Workshop ini dibuka dengan sambutan dari Kepala Pusat Data dan Informasi (Kapusdatin) DESDM, Farida Zed, serta Mr. Sigeru Kimura dari The Institute of Energy Economics, Jepang. Dalam sambutannya Kapusdatin mengungkapkan, melalui workshop ini diharapkan kerjasama pengelolaan data sektor DESDM dengan APEC EGEDA dapat ditingkatkan. “Workshop ini bermanfaat untuk meningkatkan kualitas pengelolaan data di lingkungan DESDM,” ujar Beliau.Workshop diikuti oleh perwakilan unit-unit di lingkungan DESDM, BUMN dan beberapa badan instansi sektor ESDM antara lain dari Ditjen Migas, Ditjen LPE, Ditjen Mineral Batubara dan Panas Bumi, PT. PLN (Persero), PT. Pertamina (Persero), BP MIGAS dan BPH Migas.<br /><br />Pembicara workshop berasal dari APEC EGEDA yang berasal dari Thailand (Department of Alternative Energy Development and Efficiency), Australia (Australian Bureau of Agriculture and Resource Economics), serta Indonesia yang disampaikan oleh Setditjen Mineral Batubara dan Panas Bumi, Direktur Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, Pusat Data dan Informasi ESDM, PT. PLN (Persero), PT. Pertamina (Persero), dan Direktorat Statistik Kesra BPS.<br /><br />Sumber: <a href="http://www.esdm.go.id/">www.esdm.go.id</a>Indra Budhi Kurniawanhttp://www.blogger.com/profile/17162841739163569116noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9093363051534373576.post-75628498382480018552009-08-06T11:30:00.001+07:002009-08-06T11:32:20.258+07:00Pertamina EP Tawarkan KSO 4 Lapangan MigasJakarta - PT Pertamina EP tawarkan empat lapangan produksi dan eksplorasi migas dengan skema kerja sama operasi (KSO). Rencananya lelang akan dibuka pada Oktober mendatang.<br /><br />Hal ini disampaikan Direktur Operasi Pertamina EP, Bagus Sudaryanto di sela-sela Asia Pacific Oil and Gas (APOGCE) 2009 di Jakarta Convention Centre (JCC), Jakarta, Kamis (6/8/2009).<br /><br /> "Inilah adalah penawaran KSO tahap kedua di tahun ini. Mudah-mudahan Oktober akan di-announce. Saat ini kami sedang melakukan persiapan lelang," ungkap Bagus.<br /><br />Menurut Bagus, dalam proses lelang tersebut pihaknya akan menwarkan empat lapangan eksplorasi dan produksi. Lapangan yang ditawarkan merupakan lapangan marginal dengan produksi sekitar 100-300 barel per hari.<br /><br />"Keempat lapangan diantaranya lapangan produksi di Sumatera Selatan dan lapangan eksplorasi di Sumatera Utara," ungkap Bagus.<br /><br />Selain empat lapangan tersebut, imbuh Bagus, Pertamina EP berencana akan menambahkan sekitar 2-3 lapangan lagi untuk diikut sertakan dalam proses lelang tersebut."Namun kami masih harus meminta persetujuan RUPS," tandas Bagus.<br /><br />sumber: <a href="http://www.detik.com/">www.detik.com</a>Indra Budhi Kurniawanhttp://www.blogger.com/profile/17162841739163569116noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-9093363051534373576.post-71845912672743167092009-08-06T10:16:00.003+07:002009-08-06T11:19:22.575+07:00Global Crude Oil and Liquid Fuels<strong>Overview.</strong> Crude oil prices rose in June for the fourth consecutive month, in part because of stronger-than-anticipated global economic activity, primarily in Asia. Market sentiment continues to reflect expectations of an economic recovery and a future rebound in oil demand that are outweighing weak current oil consumption and high inventory levels. Continued production restraint by members of the Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) and unrest in Iran and Nigeria, respectively OPEC’s second- and seventh-biggest oil producers, are also supporting prices. The downside price risks of this forecast are a delayed or weaker-than-expected global economic recovery, ample global surplus production capacity, and high commercial inventories.<br /><br /><br /><div><div><div><strong>Consumption.</strong> The global economic downturn curtailed world oil consumption during the second half of 2008 and the first half of 2009. Compared with the year prior, world oil consumption was down an average of 3.0 million barrels per day (bbl/d) from the fourth quarter of 2008 through the second quarter of 2009. However, the consumption decline rate is expected to moderate later this year because of comparison with a lower level of consumption last year and projected gradual global economic improvement. In particular, there has been stronger economic activity in Asia than was previously anticipated, and the current forecast reflects higher expected oil consumption in that region. As a result, a smaller decline in global oil consumption is expected in 2009, with oil consumption projected to fall by 1.6 million bbl/d compared with a decline of 1.7 million bbl/d in the June Outlook. Global consumption is projected to grow by 0.9 million bbl/d in 2010 in response to expected positive global economic growth (World Liquid Fuels Consumption Chart).</div><div><br /><br /></div><p align="center"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhXISvdeCIX8LC9pAJozZMx3zuf60sokW8672CmTltlMOqIFGyYKKYF-0_e-Z2cxgef0VVjMy6PzJrrZ9PdixlQBglWY5msTO68f2SV5FuAxN81y9EuAbFd0hgv3ia6AsLCYOYcv8M0aAA/s1600-h/Fig5.gif"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5366692454143731282" style="WIDTH: 320px; CURSOR: hand; HEIGHT: 201px" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhXISvdeCIX8LC9pAJozZMx3zuf60sokW8672CmTltlMOqIFGyYKKYF-0_e-Z2cxgef0VVjMy6PzJrrZ9PdixlQBglWY5msTO68f2SV5FuAxN81y9EuAbFd0hgv3ia6AsLCYOYcv8M0aAA/s320/Fig5.gif" border="0" /></a></p><div><br /><strong>Non-OPEC Supply.</strong> Total non-OPEC supply is expected to rise by 360,000 bbl/d in 2009 and to remain fairly flat in 2010. Over the forecast period, higher output from Brazil, the United States, Azerbaijan, and Kazakhstan is expected to offset falling production in Mexico, the North Sea, and Russia (Non-OPEC Crude Oil and Liquid Fuels Production Growth Chart).</div><div><br /></div><div><br /></div><p align="center"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEicNyJ6NMRiuAkqzjFn2ERbxwxQXMDOZ5o-tg_xXJi4aIBYVHRfK33L_SW-geiZ1Qz_4PkRxUrhbdK6qOpQCHruVaJSn1qP42UnKt2GlIO3B_7qW9AvzB6Aw_DEi_b5FOf33GwujwCInbg/s1600-h/Fig8.gif"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5366693672574047682" style="WIDTH: 320px; CURSOR: hand; HEIGHT: 201px" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEicNyJ6NMRiuAkqzjFn2ERbxwxQXMDOZ5o-tg_xXJi4aIBYVHRfK33L_SW-geiZ1Qz_4PkRxUrhbdK6qOpQCHruVaJSn1qP42UnKt2GlIO3B_7qW9AvzB6Aw_DEi_b5FOf33GwujwCInbg/s320/Fig8.gif" border="0" /></a></p><div><strong>OPEC Supply.</strong> OPEC crude oil production is estimated to be 28.6 million bbl/d in the second quarter of 2009, down slightly from first quarter levels, but down 3.1 million bbl/d from the third quarter of 2008. OPEC crude output is expected to remain near current levels through the end of the year, then trend upward moderately in 2010 in response to higher demand. Substantial surplus production capacity, located mostly in Saudi Arabia, should help moderate upward price pressure until higher demand begins to erode the global supply cushion. </div><div><br /></div><div></div><div><br /></div><div><strong></strong></div><div><strong>Inventories.</strong> Preliminary data indicate that commercial inventories held by Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) countries stood at 2.7 billion barrels at the end of the first quarter of 2009. At 60 days of forward cover, OECD commercial inventories were well above average levels at the end of March (Days of Supply of OECD Commercial Stocks Chart). Preliminary estimates suggest that OECD commercial inventories held fairly steady during the second quarter of 2009, rather than rising seasonally, but still remain well above the historic average. Crude oil in floating storage, which is not included in the OECD stock totals, has reportedly declined from a high of more than 120 million barrels at the beginning of 2009 to about 80 million barrels.</div><div></div><p align="center"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgDm5xgLj9Li5q6DSgNPm1hpCisvIXTWz7-g87u9yVFvlkisBGm20Wew-mHeGI8jtd52rbmSP_OPgSHCFVhfDZgjthzt6lTxP5NpaZvL4NANZbQuUeEFDh6GtX1uSTITQkdEODPeCqGM7g/s1600-h/Fig11.gif"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5366698885404559330" style="WIDTH: 320px; CURSOR: hand; HEIGHT: 201px" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgDm5xgLj9Li5q6DSgNPm1hpCisvIXTWz7-g87u9yVFvlkisBGm20Wew-mHeGI8jtd52rbmSP_OPgSHCFVhfDZgjthzt6lTxP5NpaZvL4NANZbQuUeEFDh6GtX1uSTITQkdEODPeCqGM7g/s320/Fig11.gif" border="0" /></a></p><p align="left">Source: www.doe.gov</p></div></div>Indra Budhi Kurniawanhttp://www.blogger.com/profile/17162841739163569116noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9093363051534373576.post-27162114605057113292009-08-06T09:55:00.000+07:002009-08-06T10:00:48.163+07:00Produsen Migas Diminta Tingkatkan Komitmen CSRJAKARTA. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro menyampaikan, pertumbuhan investasi minyak dan gas bumi di Indonesia memunculkan berbagai tantangan, salah satunya untuk memenuhi standar profesionalisme dalam Health, Safety and Environment (HSE) serta Tindakan Pengamanan. "Merespon tantangan ini, selama bertahun-tahun sektor migas telah menjadi pelopor dalam peningkatan komitmen perusahaan untuk melaksanakan Corporate Social Responsibility (CSR), khususnya dalam aspek pembangunan dan pemberdayaan masyarakat”, demikian disampaikan Menteri ESDM dalam acara Asia Pacific Oil & Gas Conference and Exhibition (APOGCE) 2009 di Jakarta Convention Centre, Selasa (4/8).<br />Dalam melaksanakan CSR, ada tantangan lain yang perlu mendapat perhatian, yaitu bagaimana memberikannya tanpa menimbulkan ketergantungan serta tidak mengambil alih tanggung jawab pihak-pihak terkait lainnya, dalam hal ini pemerintah dan masyarakat umum.<br /><br />Menteri memaparkan, tantangan terbesar saat ini adalah untuk menciptakan pemahaman masyarakat bahwa peran penting produsen migas yaitu untuk menjadi perusahaan profesional di lapangan guna memenuhi target produksi, yang pada gilirannya akan memberikan kontribusi bagi penerimaan negara. “Bagian dari pendapatan negara inilah yang akan kembali ke pemerintah daerah melalui alokasi anggaran untuk dimanfaatkan bagi kesejahterakan rakyat”, ujar Menteri ESDM. Hari ini, lanjut Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro, APOGCE 2009 menjadi momentum yang tepat bagi sektor migas untuk terus membuktikan komitmennya dalam menjawab tantangan energi melalui kepedulian dan tanggungjawab.<br /><br />Sumber: www.esdm.go.idIndra Budhi Kurniawanhttp://www.blogger.com/profile/17162841739163569116noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-9093363051534373576.post-64950640112810533722009-08-06T09:34:00.003+07:002009-08-06T09:54:11.938+07:00Rasio Elektrifikasi 14 Provinsi Diatas 60%JAKARTA. Rasio elektrifikasi nasional mengalami peningkatan yang signifikan. Bila pada tahun 1980 rasio elektrifikasi hanya mencapai 8%, tahun-tahun berikutnya angka tersebut meningkat menjadi 28% pada tahun 1990, 53% pada tahun 2000 dan mencapai 65,10% pada akhir 2008.<br /><br />Data Ditjen Listrik dan Pemanfaatan Energi (LPE) Departemen ESDM menunjukkan, saat ini 14 provinsi di Indonesia telah memiliki rasio elektrifikasi diatas 60%. Ke-14 provinsi tersebut adalah NAD (76,98%), Sumut (69,68%), Sumbar (69,37%), Babel (72,88%), Banten (63,90%), Jakarta (100%), Jabar (67,40%), Jateng (71,24%), DIY (84,48%), Jatim (71,55%), Bali (74,98%), Kaltim (68,56%), Kalsel (72,29%), dan Sulut (66,87%).<br /><br />Sementara itu, 14 provinsi lainnya memiliki rasio elektrifikasi 41-60%. Provinsi yang termasuk dalam kategori ini adalah Riau dan Kepri (55,84%), Jambi (51,41%), Bengkulu (51,46%), Lampung (48,82%), Sumsel (50,30%), Kalbar (45,83%), Kalteng (45,22%), Gorontalo (49,79%), Sulteng (48,30%), Sulbar, Sulsel (55,20%), Maluku (54,51%), dan Malut (49,44%).<br />Sisanya, yaitu sebanyak 5 provinsi, masih memiliki rasio elektrifikasi 20-40%. Kelima provinsi tersebut yaitu NTB (32,51%), NTT (24,55%), Sultra (38,09%), serta Papua dan Irian Jaya Barat (32,35%).<br /><br />Pemerintah akan terus mengupayakan agar seluruh bangsa Indonesia dapat menikmati listrik. Peningkatan rasio elektrifikasi tersebut dilakukan melalui sambungan baru pelanggan PT. PLN (Persero) dan pemanfaatan energi setempat seperti PLTMH, PLTB, PLTS Terpusat dan PLTS Tersebar yang khusus diperuntukkan bagi daerah-daerah terpencil.<br /><br />Sumber: www.esdm.go.idIndra Budhi Kurniawanhttp://www.blogger.com/profile/17162841739163569116noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-9093363051534373576.post-67384964001355360092009-06-29T14:17:00.001+07:002009-06-29T14:33:45.733+07:00Pertamina plus 30 Raksasa Migas Rebutkan Blok Migas IrakBaghdad - PT Pertamina (persero) dan perusahaan-perusahaan minyak top dunia sedang 'berebut' blok minyak dan gas (migas) di Irak. Negara kaya minyak tersebut akan mengumumkan pemenangnya pada pekan ini.<br /><br />Irak akan segera menentukan siapa perusahaan minyak yang akan memenangkan kontrak untuk mengembangkan ladang migasnya, 4 dekade setelah Saddam Hussein menasionalisasi infrastruktur energi negara tersebut.<br /><br />Sebanyak 31 perusahaan minyak besar telah memasukkan penawaran untuk mengembangkan 6 blok minyak raksasa dan 2 ladang gas di Irak. Cadangan minyak blok yang ditenderkan mencapai 43 miliar barel yang terletak di kawasan Selatan dan Utara Irak. Sementara ladang gas terletak di Barat dan Timur Laut Baghdad.<br /><br />"Tujuan utama kami adalah untuk meningkatkan produksi minyak kami dari 2,4 juta barel per hari menjadi lebih dari 4 juta barel dalam 5 tahun ke depan," ujar Menteri Perminyakan Irak, Hussein al-Shahristani dalam wawancaranya dengan televisi Irak, seperti dikutip dari AFP, Senin (29/6/2009).<br /><br />Meningkatkan produksi hingga level tersebut, menurut dia, berarti menambah pemasukan Irak hingga US$ 1,7 triliun dalam 20 tahun mendatang. Dari nilai tersebut, hanya US$ 30 miliar yang akan diterima perusahaan yang berhasil mengeduk minyak.<br /><br />"Ini adalah jumlah besar yang akan mendanai proyek-proyek infrastruktur di Irak, termasuk sekolah, jalan raya, bandara udara, perumahan, rumah sakit," ujarnya.<br /><br />Rencananya, kementerian perminyakan Irak akan mengumumkan siapa pemenang tender tersebut pada Senin, 29 Juni 2009. Namun badai menyebabkan penundaan pengumuman tersebut.<br /><br />"Cuaca buruk menyebabkan perwakilan dari perusahaan minyak dan media tak bisa mendarat di Baghdad, sehingga kami memutuskan untuk menundanya selama 1 hari," ujar juru bicara kementerian perminyakan Irak, Assem Jihad.Berikut 31 perusahaan yang mengikuti tender tersebut:<br /><br />BHP Billiton Petroleum Pty Ltd.(Australia)<br />BP Exploration Operating Co. (Inggris)<br />Chevron Corp. (AS)<br />CNOOC Ltd. (China)<br />CNPC International Ltd. (China)<br />ConocoPhillips (AS)<br />Edison SpA (Italia)<br />Eni Medio Oriente SpA (Itala)<br />ExxonMobil Iraq Ltd. (AS)<br />Hess Corp. (AS)<br />INPEX Corp. (Jepang)<br />Japex (Japan Petroleum Exploration Co., Ltd.) (Jepang)<br />JSC Gazprom Neft R(Rusia)<br />Korea Gas Corp. (Kogas) (Korsel)<br />JSC Lukoil (Rusia)<br />Maersk Olie og Gas AS (Denmark)<br />Marathon International Petroleum Turquesa Ltd. (AS)<br />Nexen Inc. (Kanada)<br />Nippon Oil Corp. Japan<br />Occidental Petroleum Corp. (AS)<br />ONGC Videsh Ltd. (India)<br />PT Pertamina (Persero) (Indonesia)<br />PETRONAS Carigali Sdn Bhd (Malaysia)<br />Repsol Exploracion SA (Spanyol)<br />Shell (Inggris-Belanda)<br />Sinochem Corp. (China(<br />Sinopec International Petroleum (China)<br />StatoilHydro ASA (Norwegia)<br />Total SA (Prancis)<br />Turkish Petroleum Corp. (TPAO) (Turki)<br />Woodside Petroleum Ltd. (Australia).<br /><br />Sementara ladang minyak dan gas yang ditenderkan adalah:<br /><br />Rumaila: produksi 1.020.000 bph, cadangan 17,7 juta barel<br />Kirkuk: produksi 415.000 bph, cadangan 7,9 juta barel<br />West Qurna: produksi 279.000 bph, cadangan 8,5 juta barel<br />Zubair: produksi 227.000 bph, cadangan 4 juta barel<br />Bai Hassan: produksi 170.000 bph, cadangan 2,4 juta barel<br />Maysan: produksi 100.000 bph, cadangan 2,6 juta barel. Ladang gas<br />Akkas: cadangan 2,1 triliun kaki kubik<br />Mansuriya: cadangan 4,1 triliun kaki kubik.<br /><br />Sumber: <a href="http://www.detik.com/">www.detik.com</a>Indra Budhi Kurniawanhttp://www.blogger.com/profile/17162841739163569116noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-9093363051534373576.post-24936299156084714052009-06-28T15:40:00.003+07:002009-06-28T15:54:54.642+07:00Energy Management - Part 2<strong>STRATEGIES FOR SUSTAINABLE DEVELOPMENT</strong><br /><br />Responsible energy use is fundamental to sustainable development and a sustainable future. Energy management must balance justifiable energy demand with appropriate energy supply. The process couples energy awareness, energy conservation, and energy efficiency with the use of primary renewable energy resources.<br /><br /><em>Energy Awareness</em><br /><br />To sustain its own wise use of energy, the sustainable development must demonstrate benefits rather than sacrifices to its users (which includes visitors and operators).<br />Functional requirements and user comfort are maintained while efficient lighting, ventilation, and appliances make prudent use of renewable energy resources. Energy production and efficient use are visible and interpreted components of the total sustainable development experience. The user enjoys learning about sustainable energy concepts and feels good about it. The demonstration of sustainable energy use offers an opportunity for changing perception, patterns, and value systems.<br /><br />As an example, in areas where there is visitor lodging, energy awareness could be enhanced by in-room energy meters. The meters would let visitors know how much energy they have used much like exercise machine meters have workout analogs. Interpretation would encourage and reinforce economical energy use. Visitors who conserve energy could be rewarded with facility perks or a discounted bill. The meters should be simple, informative, and fun.<br /><br />The comprehensive advantages of sustainable alternatives over conventional approaches can be communicated through comparison of the source and amount of energy required for a particular service, and the associated environmental and economic cost implications. By promoting less consumptive lifestyles and demonstrating more sustainable energy alternatives, the sustainable development can more effectively balance the demand and supply sides of energy management responsibilities.<br /><br /><em>Energy Conservation</em><br /><br />At the beginning of the planning process, a determination must be made to avoid energy-intensive or unnecessary operations. Considerable energy can be conserved if access to, from, and within a development is planned around transportation systems, bicycle routes, and pedestrian walkways rather than perpetuating the use of personal automobiles.<br />Facility design can contribute to energy conservation in several ways. Through recycling existing facilities, building only the minimum to satisfy the functional requirements, and having facilities serve multiple functions, the embodied energy of new building materials and the energy of transporting and constructing them are minimized. In addition, considerable electrical and thermal energy can be saved through facility design that incorporates daylighting and the other passive energy-conserving strategies appropriate to the local climatic environment. Any food service associated with the development could also contribute to energy conservation by emphasizing fresh, locally available items that minimize the amount of energy required for transportation processing, freezing, and refrigeration.<br /><br />In all cases, mechanical air-conditioning of facilities is energy-intensive, and in most cases, proper attention to the principles of site planning and building design can effectively eliminate its need. Awareness of the cooling sense of moving air and the connection to the natural resource can enhance the user comfort and the visitor experience without air-conditioning.<br /><br />Fresh air is desired in a resource-related development. Breezes, the sound of birds or the surf, and the smell of flowers are fundamental to the perception of air. Wind chimes, used in traditional Japanese architecture, serve as a gentle reminder of a cool breeze. The sound of trickling water in a courtyard fountain can impart the perception of coolness. A ceiling fan spinning overhead can provide not only a sensory but also a psychological feeling of a cool breeze.<br />In visitor lodging, energy use can be minimized through "designed-in" restrictions or charges on consumption to visitors. Elimination of electrical outlets in individual lodging units would curtail the use of visitor appliances such as hair dryers and electric cooking utensils. Instead, electricity should be provided only at central locations such as bathhouses, and limited in individual units to fixed devices or appliances, such as lighting or a fan. Certain services such as laundry or showers or high wattage electrical outlets could be coin operated and timed because they are so energy intensive. The visitor could be informed of their energy use with a continuous display, and rewarded or charged depending on consumption.<br /><br /><em>Energy Efficiency</em><br /><br />Efficient methods, devices, and appliances should be employed at the sustainable development to conserve energy. Almost all facets of the development and visitor services and amenities can profit from recent innovations in energy efficiency.<br /><br />As an example, no bulb is cheaper to buy and more expensive to use than an incandescent bulb. Over 90% of the energy consumed by most incandescent lamps is released as heat. The substitution of one compact fluorescent bulb for an incandescent bulb will save a barrel of oil (money), keep about 2,000 pounds of carbon dioxide (global warming), and 20 pounds of sulfur oxides (acid rain) out of the atmosphere. For the owner, each $10 compact fluorescent bulb will save approximately $40 in energy cost over the life of the bulb. The 100-year-old incandescent bulb will soon go the way of the oil lamp.<br /><br /><strong>Lighting</strong>. Natural lighting should be used wherever possible. The quality and ambiance of natural lighting are unsurpassed and it is free. Lighting design should be based on standards of reduced general lighting with task lighting and highlighting for specific functional considerations.<br /><br />Where artificial light is needed, regular and compact fluorescent lighting should be used.<br />Fluorescents are greatly improved with color rendition comparable to incandescents and electronic ballasts to totally eliminate perceptible flicker. They use 75% less electricity. Average life is 10 times longer than incandescents, reducing maintenance and transportation costs. In most circumstances, the economic payback for new fluorescents is under two years. The environmental payback is immediate.<br /><br /><strong>Sensors and Controls.</strong> Lighting, ventilation, and other devices or systems can be controlled with a variety of sensors that reduce electricity consumption significantly. A photocell can control day and night operation. Occupancy sensors (motion or ultrasonic) can operate lighting. The infrared sensor uses less energy to operate and is less sensitive to air movement but does not see around corners. An ultrasonic sensor can be used in a restroom and even detect movement around partitions. Other sensors are available that can control operation of a device by door opening, time of day, timer, noise level, and proximity.<br /><br /><strong>Refrigeration.</strong> Efficiency of refrigeration mostly depends on insulation but also on the temperature of the condenser. High insulation levels and efficient compressors are available in only a few refrigerators and freezers. They will reduce energy consumption significantly, using only 20% of conventional units. Any site-constructed walk-in freezer should strive for similar efficiency through a combination of super insulation and heat exchange with relatively cooler reservoir. Open chest freezers should be avoided. Individual dwelling units could be supplied with an ice source efficiency cooler instead of a refrigerator, but these units should be well insulated.<br /><br /><strong>Laundry Facilities.</strong> Energy-efficient conversion kits are available for standard electric washing machines, which reduce energy consumption by two-thirds by replacing the motor with an energy-efficient model. Clothes should be air-dried whenever possible.<br /><br /><strong>Low Energy Transportation.</strong> Resource-related development should be laid out with an emphasis on pedestrians and a reduced dependency on fossil fuels. Walkways and hiking paths can encourage walking. The rental of bicycles and sailboats, rather than scooters and jet skis, and the coordination of efficient public transportation to the development can all serve to reinforce less consumptive lifestyles.<br /><br /><strong>Load Management.</strong> Additional system efficiencies can be realized by controlling the duration, time, and timing of loads to increase the use of the supply system. This decreases peak demands. Control strategies will depend on characteristics of the energy supply system as well as loads. For example, water may be pumped to a storage tank in a gravity system during sunlight hours for a solar electric system, during off-peak hours for a small hydro system, or during generating periods for a wind system. Intelligent load management will increase the amount of energy delivered to perform useful tasks and decrease the size of the supply system.<br /><br /><em>Renewable Energy Resources</em><br /><br />Once energy awareness, conservation, and efficiency measures have been employed, renewable energy sources should be investigated for providing the needed energy. Site conditions and available resources as well as energy demand will determine the sources to develop. Reliability and maintainability of conditions at the development are also important considerations. Energy systems should be decentralized, reliable, and locally maintainable. Spare parts should be stocked, and maintenance and operating expertise must be perpetuated through documentation, education, and training programs.<br /><br />If a technology is chosen that does not meet these criteria, i.e., a new technology or a system for which no local expertise or experience exists, and if its operation is critical, then a standby system, such as a propane generator, should be considered. A long- term support and training agreement with the supplier is also necessary.<br /><br />Specific examples of renewable energy resources and their characteristics, applicability, advantages, and disadvantages are described here.<br /><br /><p><strong>Solar Technologies.</strong> A broad range of solar technologies exists - some are as simple as sun tempering a building by orientation and shading as discussed in the "Building Design" section. A clothesline is an example of simple solar technology that should be used in a sustainable development. Low technology systems are readily available to preheat water and dry foods. Medium temperature systems can provide refrigeration. Solar collectors with multiple units ensure reliability.<br /></p><p><em>Low Temperature Thermal Systems.</em> This class of systems is commercially available, and both installation and maintenance requirements are familiar to the electrical and plumbing trades.<br /></p><ul><li>Swimming Pool Heaters. Swimming pool heaters are commonly manufactured of low-cost PVC or CPVC materials and are in the form of a simple piping loop with a circulator pump. Controls are simple and can even be omitted in most southern latitudes. </li><li>Domestic Hot Water Heaters. Domestic hot water heaters are typically closed-loop systems used for providing potable hot water to household or commercial facilities. They come in a variety of shapes and sizes, but generally include a water-heater storage tank, either of the common household water heater type, or of a solar applications design that has an additional heat exchanger and superinsulation. The solar collectors are generally flat-plate designs that vary from manufacturer to manufacturer. These systems are simple to install, and maintenance is low. Payback varies with comparison to local rates, but is generally two to three years. </li><li>Medium Temperature Thermal Systems. Air-conditioning or industrial-process water heating are typical applications of these systems. These systems are less common than low temperature systems, and installation requires an experienced contractor and several weeks of project time. Payback is extended when the application is for air-conditioning. Domestic hot water can be a by-product of the absorption unit, and will defray operating costs somewhat. The collectors themselves are cost-effective, and systems using them to pump water and other such uses are very cost-effective. </li><li>Photovoltaic Systems. Ample sunlight, low maintenance, high reliability, and widespread support make photovoltaic systems and attractive option for remote energy generation. System design is flexible and easily expanded. A development can be energized by a single centralized large array and battery storage, or smaller autonomous systems serving local areas, even individual dwelling units. Although there may be cost advantages for a centralized system, there are reliability advantages for a number of small modular systems with interchangeable components. Electrical storage is by lead-acid deep-cycle batteries, similar to those used in golf carts. Although there are many variables a typical hotel room or studio apartment could be powered by batteries of 300 amp hours at 12 volts, including a four-day reserve. Typical battery total costs would be about $1 per amp-hour. This would include fans, lights, TV or stereo, an occasional high load such as a hair dryer or whirlpool bath, and a high-efficiency refrigerator. Peak loads such as cooking would be best handled by natural gas or propane. Direct current electricity is generated and stored. Reliable, efficient, high-capacity inverters that convert the stored energy to 120 volts AC for running conventional appliances are available. </li><li>Hydroactive Systems. Small-scale hydroplants are generally comprised of Pelton wheel generators that operate from low-head, running streams of water. They are reliable and cost-effective, and can be serviced by competent mechanics with hydraulic and electrical skills. Storage batteries can be used to buffer peak electrical demands. Wave-action generators are comprised of hydraulic or pneumatic pumps that pressurize an accumulator to drive motor/generators. These systems can stand alone or be disguised by incorporating them into docks and other shore emplacements. They work well wherever there is small wave action, such as in harbors and marinas, or in seashore facilities. They are reliable and cost-effective, and maintenance is simple. Storage is designed into the system to meet electrical demands. They work best where demand is intermittent, such as for cycling pumps. </li><li>Wind Systems. As with solar technology, the simplest use of the prevailing winds is incorporation into the architecture. Wind scoops, cross-ventilation, and passive thermal chimneys use air movement to keep buildings comfortable. Wind generators can be a good choice for remote applications and small power demands such as pumping water. Major maintenance should be performed by the dealer. </li><li>Biogas Use. As a by-product of the anaerobic digestion of the solid waste stream (see "Waste Prevention" section), biogas offers the comprehensive benefits of waste and wastewater processing, methane production for cooking and refrigeration, and generation of organics for soil enhancement. Depending on the quantity of waste that is available, possibly all the energy needs within a sustainable development may be met through the use of biogas. Biogas might also be used in the production of ice at off-peak periods to sustain the marketability of local produce or the fishing industry. Biogas should be used to directly fuel gas refrigerators, stoves, absorption-chillers, and water heaters. A simple orifice change is required to adapt these appliances to the Btu (British thermal unit) value of the gas supply. This will typically be done by the manufacturer if specified. Gas-fired engine generators should be used if the energy balance indicates that sufficient energy is available for that purpose. Proven heavy duty propane generators will be more reliable and quieter than the diesel-converted models of some U.S. manufacturers. One warning in this process is to not buy used equipment unless it is fully researched and warranted and the parts readily available and the service available within one week. </li></ul><p><strong>ACTIONS FOR SUSTAINABLE DEVELOPMENT<br /></strong></p><p>With the ultimate goal of sustainability, the following actions summarize an approach to reduce energy consumption:<br /></p><ul><li>Identify the availability, potential, and feasibility of primary renewable energy sources such as solar, wind, biogas, and geothermal to satisfy the justifiable energy needs of the development.</li><li>Apply the best principles of siting and architectural design to reduce energy demands and to minimize the need for energy-consuming utilities (air-conditioning, water heaters, high-level artificial lighting).</li><li>Make energy production and use a visible component of the sustainable development. Broaden visitor experiences by awareness of energy use issues and the use of efficient appliances, conservation methods, and renewable energy sources. Install energy meters to monitor and illustrate energy consumption.</li></ul><p></p><p>Source: <a href="http://www.nps.gov/">http://www.nps.gov/</a></p>Indra Budhi Kurniawanhttp://www.blogger.com/profile/17162841739163569116noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9093363051534373576.post-91846319740874145642009-06-28T15:33:00.002+07:002009-06-28T15:38:46.932+07:00Energy Management - Part 1THE CONSUMPTION OF ENERGY<br /><br />Most "modern" architecture, transportation, and food production was created upon, and is dependent on, the assumption that using fossil fuels for energy is economical and that their supply is inexhaustible. Few people are aware of the true costs associated with the overuse of fossil fuels. Mining that displaces habitats, forest cover, and farmland; oil spills that foul beaches, marine environments, and groundwater; and air pollution that reduces the chances for species survival are difficult to associate with flipping on a light switch, running an air-conditioner, or driving a car.<br /><br />In reality, unchecked consumption of the finite fossil fuel reserves drives more and more exploration and extraction at a higher economic cost, and displaces more and more natural resources at a higher environmental cost. A compounding reality is that generating energy by burning coal, oil, and natural gas is a major source of atmospheric contamination responsible for global warming and climate change, acid rain, and smog. The resulting impact damages water bodies and groundwater, soils, crops, wildlife and wildlife habitat, building materials, and mankind's personal health. The combined effect is the inability to sustain life. Thus, the true cost of using fossil fuels for highly consumptive energy needs is not just the price humans pay, it is also the price the environment pays.<br /><br />ALTERNATIVE ENERGY SOURCES<br /><br />Just as a site has primary natural and cultural resources, it has primary renewable energy resources, such as sun, wind, and biogas conversion. Solar applications range from hotwater preheat to electric power production with photovoltaic cells. Wind-powered generators can provide electricity and pumping applications in some areas. The biogas conversion process reduces gas or electricity costs and eliminates the release of wastewater effluent into water resources. With known technologies the intelligent use of primary renewable energy resources can benefit any development.<br /><br />The availability, potential, and feasibility of primary renewable energy resources must be analyzed early in the planning process as part of a comprehensive energy plan. The plan must justify energy demand and supply and assess the actual costs and benefits to the local, regional, and global environments.Indra Budhi Kurniawanhttp://www.blogger.com/profile/17162841739163569116noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9093363051534373576.post-20074356249086656702009-06-28T15:14:00.001+07:002009-06-28T15:20:57.317+07:00Penjelasan Badan Geologi Terkait Kemunculan Gas Di Desa Walikukun, SerangBANDUNG. Kemunculan gas bercampur air yang terjadi di Desa Walikukun, Kec. Cerenang, Kab. Serang, Prov. Banten sering terjadi. Beberapa lokasi telah diteliti oleh Tim Tanggap Darurat Badan Geologi DESDM pada tahun 2007 dan berdasarkan hasil penelitian Tim, gas yang keluar tidak berbahaya.<br /><br />Penelitian yang dilakukan Tim Badan Geologi pada tahun 2007 tersebut terkait dengan kemunculan gas yang terjadi di wilayah Kabupaten Serang, kemudian Tim Tanggap Darurat Badan Geologi melakukan penelitian di beberapa wilayah seperti, Kampung Cikasap, Desa Sukarame, Kampung Pematang, Desa Pematang, Kecamatan Cikeusai, Kampung Cibeutik, Desa Pengampelan, Kecamatan Walantaka dan sumur bor di dalam kantor Puskemas, Kecamatan Pontang.<br /><br />”Analisa komposisi gas dengan metode Giggenbach dan detektor multigas Multiwarm menunjukkan, kandungan gas semburan didominasi oleh gas CO2 yang diikuti H2S dan SO2. Ketiga gas tersebut merupakan ciri dari gas-gas vulkanik yang tidak berbahaya”, ujar Kepala Bidang Pengamatan dan Penyelidikan Gunungapi, M. Hendrasto.<br /><br />Beliau melanjutkan, meski terdapat kandungan gas metana dalam semburan, namun hal tersebut tidak berbahaya karena persentasenya sangat kecil. Selain itu, tekanan gas yang keluar pada umumnya bertekanan rendah.<br /><br />Gas metana akan mudah menyala jika kandungannya mencapai diatas 5% vol, sedangkan kandungan gas metana pada pusat semburan lumpur di Walikukun kandungannya hanya berkisar antara 0,6-1% vol.<br /><br />Berdasarkan hasil penelitian tersebut, M. Hendrasto meminta masyarakat untuk tetap tenang dan tidak menyalakan api serta mendekati lokasi semburan untuk menghindari terjadinya kebakaran dan jatuhnya korban jiwa akibat menghirup gas yang keluar. Selain itu, Beliau menyarankan menggunakan pipanisasi untuk mendapatkan air bersih dan tidak membuat sumur bor di wilayah tersebut juga wilayah lainnya yang berpotensi terjadinya semburan gas bercampur air.<br /><br />Sumber: <a href="http://www.esdm.go.id/">http://www.esdm.go.id/</a>Indra Budhi Kurniawanhttp://www.blogger.com/profile/17162841739163569116noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-9093363051534373576.post-64948325224005970102009-06-28T15:07:00.001+07:002009-06-28T15:10:04.943+07:00Keamanan Pasokan Batubara Jadi Perhatian Utama Pertemuan AFOC ke 7BALI. Keamanan pasokan (security of supply) batubara menjadi perhatian para delegasi negara ASEAN yang hadir dalam pertemuan ASEAN Forum On Coal (AFOC) ke 7 di Bali, Rabu (24/6/29). Bahkan delegasi Malaysia menyatakan siap mengajukan proposal ASEAN Coal Security Agreement (ACSA) sebagaimana juga telah terjadi untuk ASEAN Petroleum Security Agreement (APSA).<br /><br />Para delegasi menyampaikan bahwa tuntutan akan jaminan atau keamanan pasokan batubara semakin dibutuhan bagi kawasan ASEAN. Selain akibat semakin besarnya permintaan batubara di ASEAN, keamanan pasokan juga dilandasi kenyataan bahwa permintaan akan batubara dunia juga terus semakin meningkat. Terutama permintaan untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar pembangkit listrik.<br /><br />Untuk kawasan ASEAN, porsi batubara dalam bauran energi (energy mix) saat ini mencapai 24 %. Porsi ini diperkirakan akan terus meningkat di waktu-waktu mendatang. Pada tahun 2015 porsi batubara dalam bauran energi di ASEAN mencapai sekitar 67 %. Porsi sebesar ini diantaranya untuk kebutuhan pembangkit listrik yang mencapai kapasitas sekitar 72,2 ribu MW.<br /><br />Sebagaimana dipaparkan Dr Boonrod Sajjakulnukit, delegasi dari Thailand, bahwa batubara merupakan salah satu sumber energi yang efisien secara ekonomi dan tersedia dalam jumlah yang memadai. Negara-negara ASEAN, Amerika, Jepang, Eropa, India, China, Korea serta negara lain terus memanfaatkan batubara sebagai sumber energi.<br /><br />Philipina tengah meningkatkan kapasitas pembangkit listrik batubara dari 4.200 MW saat ini menjadi 16.000 MW. Vietnam mentargetkan kapasitas pembangkit listrik batubara mencapai 25.890 MW atau 53 % hingga tahun 2015. Malaysia meningkatkan pembangkit listrik batubara dari 17.622 MW menjadi 22.802 MW hingga tahun 2010.<br /><br />Selanjutnya Thailand akan menambah 2.800 MW pembangkit listrik hingga tahun 2021. Indonesia tengah melakukan program percepatan pembangkit listrik batubara 10.000 MW tahap I dan tahap II. Program pemanfaatan batubara untuk pembangkit listrik juga dilakukan oleh Myanmar, Laos, Kamboja. ''ASEAN mendukung peningkatan produksi dan pemanfaatan batubara secara efisien dan berkelanjutan,'' papar Boonrot.<br /><br />Sumber: <a href="http://www.esdm.go.id/">www.esdm.go.id</a>Indra Budhi Kurniawanhttp://www.blogger.com/profile/17162841739163569116noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-9093363051534373576.post-18995102258809243102009-05-28T10:52:00.000+07:002009-05-28T10:55:42.591+07:00RAPBN 2010, Target Produksi Migas 2.368.000 BOEPD<p class="articleinfo"><span class="createdate">RABU, 27 MEI 2009 11:32 WIB</span></p> JAKARTA. Pemerintah mengajukan target produksi migas Indonesia dalam RAPBN 2010 sebesar 2.368.000 barel minyak ekuivalen per hari (BOEPD) atau naik dibanding APBN 2009 sebesar 2.344.000 BOEPD. Hal ini disampaikan Dirjen Migas Departemen ESDM Evita H Legowo dalam rapat kerja dengan Komisi VII DPR tentang asumsi makro RAPBN 2010, Senin (25/5).<br /><br />Dirjen Migas memaparkan, angka tersebut merupakan total dari produksi minyak dan produksi gas nasional. Produksi minyak ditargetkan sebesar 960.000 barel per hari atau tetap dari APBN 2009. Produksi minyak terutama diperkirakan berasal dari lapangan yang dikelola PT Chevron Pasific Indonesia (CPI) sebesar 364.800 barel per hari, serta PT Pertamina dan mitranya sebesar 131.800 barel per hari.<br /><br />Sedangkan untuk produksi gas, pemerintah mengajukan target produksi 7.658 BBTU per hari, naik dibanding 2009 sebesar 7.526 BBTU per hari. Produksi gas terutama berasal dari lapangan yang dikelola PT Inpex Petroleum, PT Total E&P Indonesia dan PT Pertamina.<br /><br />Untuk harga rata-rata minyak mentah Indonesia (ICP) 2010 diperkirakan sekitar US$ 50-70 per barel. Perkiraan ICP 2010 didasarkan pada interaksi situasi ekonomi dunia, rencana produksi, kapasitas cadangan produksi, stok, perkembangan pasar minyak dan geopolitik tahun 2009 serta optimisme tahun 2010. Rata-rata ICP periode Januari-15 Mei 2009 mencapai US$ 47,66 per barel.<br /><br />Sumber: www.esdm.go.idIndra Budhi Kurniawanhttp://www.blogger.com/profile/17162841739163569116noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-9093363051534373576.post-32568500876090102202009-05-28T10:04:00.003+07:002009-08-06T10:09:23.122+07:00Komisi VII DPR RI Tunda Pembahasan Subsidi BBN 2010 Hingga Revisi Perpres Selesai<h2 class="contentheading berita migas"><span style="font-size:78%;"><span class="createdate"></span></span> </h2>JAKARTA. Komisi VII DPR RI menunda pembahasan subsidi BBN 2010 hingga revisi Perpres No. 71 Tahun 2005 selesai. Karena menurut Komisi VII Perpres tersebut merupakan payung hukum untuk pengalokasian subsidi BBM jenis tertentu.<br /><br />Dalam Rapat Kerja (Raker) antara perwakilan dengan Komisi VII hari ini Rabu (27/5) diputuskan untuk menunda pembahasan subsidi BBN 2010 hingga revisi Perpres No. 71 Tahun 2005 Tentang Penyediaan Dan Pendistribusian Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu dapat diselesaikan dengan tambahan subsidi BBN 2010 .<br /><br />Setelah keluar keputusan penundaan tersebut Dirjen Migas Evita H. Legowo mengatakan, pihaknya telah mengajukan usulan revisi Perpres No 71 Tahun 2005 sejak beberapa waktu lalu. Diharapkan pada pekan ini revisi itu dapat ditandatangani oleh Presiden. Revisi Perpres No 71 Tahun 2005 ini memang penting dilakukan. Tidak hanya terkait dengan subsidi BBN, tetapi juga formula harga BBN yang telah selesai dibahas dengan stakeholder, lanjutnya.<br /><br />Sebelumnya pada awal rapat kerja, dengan mempertimbangkan harga minyak dunia yang terus naik, pemerintah mengusulkan alokasi tambahan subsidi untuk bahan bakar nabati (BBN) tertentu rata-rata Rp 2.000 per liter.<br /><br />Dengan subsidi Rp 2.000 per liter, maka total subsidi BBN tahun 2010 dengan volume BBN 777.075 kilo liter sebesar Rp 1,554 triliun. Perinciannya, subsidi bioethanol Rp 429,082 miliar di mana mandatory sebesar 1% dan biodiesel Rp 1,125 triliun dengan mandatory 5%.<br /><br />Besaran subsidi BBN 2010 yang diajukan ini lebih besar dibanding 2009 sebesar Rp 1.000 per liter. Dengan volume 831.427 kilo liter, maka total subsidi BBN 2009 mencapai Rp 831,427 miliar.<br /><br />Sumber: www.esdm.go.idIndra Budhi Kurniawanhttp://www.blogger.com/profile/17162841739163569116noreply@blogger.com1