05 November 2009

Program Desa Mandiri Energi (DME) Departemen ESDM

JAKARTA. Indonesia merupakan Negara besar dengan 33 provinsi dan memiliki tidak kurang dari 70 ribu desa. Saat ini 45% dari desa tersebut dikategorikan sebagai Desa Tertinggal yang ditandai dengan terbatasnya akses masyarakat terhadap energi.

Depertemen ESDM sebagai departemen teknis yang menangani energi telah melaksanakan program Desa Mandiri Energi (DME) yaitu, program penyediaan energi dengan memanfaatkan potensi energi setempat baik berbasis Bahan Bakar Nabati (BBN) maupun non-BBN dengan teknologi yang dapat dioperasikan oleh masyarakat setempat.

Program DME dimaksudkan untuk sebagai entry point dalam kegiatan ekonomi pedesaan pertama kalinya diluncurkan oleh Presiden RI di Desa Grobogan, Jawa Tengah pada tahun 2007 dan terus dilanjutkan didesa-desa lainnya. Akhir pada akhir tahun 2009 ini diharapkan terbentuk 850 DME dan ditargetkan hingga akhir 2014 nanti ditargetkan terbentuk 3.000 DME.

Dalam perkembangannya, Program DME mulai memanfaatkan teknologi energi baru terbarukan seperti, mikrohidro, angin dan surya sebagai pembangkit energi alternatif. waktu itu dikenal dengan istilah “Desa Energi Terbarukan”. Beberapa Desa Energi Terbarukan yang dikembangkan Departemen ESDM berhasil mendapat penghargaan ditingkat ASEAN diantaranya, PLTMH Cicurug Garut, PLTMH Malang. Desa Energi Terbarukan merupakan cikal bakal Desa Mandiri Energi.

DME merupakan alternatif pemecahan masalah penyediaan energi. Disamping itu pengembangan Program DME diharapkan dapat mengurangi tingkat kemiskinan (Pro-Poor), memperkuat ekonomi nasional (Pro-Growth) dan memperbaiki lingkungan (Pro-Planet).

Sumber: www.esdm.go.id

Konferensi West Sussex Rumuskan Strategi Mensukseskan UN Climate Change Conference

JAKARTA. Sebuah konferensi internasional tentang energi terbarukan dan efisiensi energi kembali digelar pada 14-17 September 2009 lalu di Wilton Park, West Sussex, Inggris. Konferensi tersebut merupakan agenda tahunan dari Renewable Energy and Energy Efficiency Partnership (REEP). Konferensi yang mengusung tema “Renewable Energy and Energy Efficiency: Practical Strategies for Making Copenhagen A Success” itu bertujuan untuk mewujudkan komitmen bersama sehingga United Nations Climate Change Conference yang akan diadakan di Copenhagen, Denmark pada Desember 2009 dapat mencapai hasil yang diinginkan.

Pada konferensi tersebut disepakati bahwa urgensi dari tantangan yang dihadapi dalam pengembangan energi terbarukan dan efisiensi energi memerlukan kesepakatan internasional. Negara-negara maju penghasil emisi tinggi harus memiliki komitmen untuk mencapai target pengurangan emisi jangka panjang maupun menengah. Sementara itu, dibutuhkan pula respon yang tepat dari negara-negara berkembang serta perhatian kepada negara-negara belum berkembang yang membutuhkan akses keuangan maupun teknologi untuk membantu pembangunan dan penerapan kebijakan mitigasi perubahan iklim.

World Economic Outlook 2008 mencatat, pertumbuhan energi primer sebesar 1,6% per tahun akan meningkatkan konsumsi energi primer menjadi 45% pada tahun 2030. Menurut International Energy Agency (IEA), skenario ini membutuhkan investasi sekitar US$ 1 triliun per tahun. Investasi ini turut menentukan besarnya emisi yang dihasilkan pada beberapa dekade mendatang sesuai jenis teknologi yang dipilih.

Sejauh ini, efisiensi energi menjadi pilihan utama negara berkembang maupun negara maju dalam mengatasi dampak perubahan iklim. Dalam hal ini, pemerintah dapat mengambil peran penting dengan menyediakan kebijakan dan peraturan yang sejalan seperti feed-in tariff dan mekanisme pendanaan yang tepat sehingga dapat menstimulasi swasta untuk berinvestasi di bidang energi terbarukan. Inisiatif swasta dalam investasi pada teknologi ramah lingkungan dan efisiensi energi akan mendorong penurunan harga energi terbarukan, menurunkan laju emisi gas rumah kaca, serta menyediakan akses energi modern bagi masyarakat.

Bagi beberapa negara, energi rendah karbon (low carbon energy) adalah opsi paling tepat untuk pembangkitan energi. Advanced Market Commitements (AMCs) untuk energi rendah karbon dapat digunakan untuk menjamin pasar dan harga “teknologi hijau”.

Sumber: www.edm.go.id

04 November 2009

ASEAN Tindaklanjuti Ratifikasi Protokol Kyoto

JAKARTA. Dalam pertemuan 2nd ASEAN+3 CDM Experts Capacity Building yang berlangsung di Bangkok, Thailand tanggal 28 September hingga 2 Oktober 2009 yang lalu negara-negara ASEAN selaku negara Non-Annex I telah menindaklanjuti ratifikasi Protokol Kyoto dengan berbagai upaya, diantaranya membentuk institusi seperti DNA (Designated National Authority) dengan koordinator dari Kementerian Lingkungan Hidup.

Menyusun rencana aksi nasional perubahan iklim termasuk sektor energi, dan meningkatkan pengembangan EBT dalam proyek CDM (biomasa, biogas) juga merupakan upaya yang dilakukan negara-negara ASEAN. Disamping itu Korea dan Jepang selaku negara Annex I berkomitmen untuk menindaklanjuti ratifikasi Protokol Kyoto dengan meningkatkan penurunan emisi GHG-nya (Jepang dari 15% menjadi 25%) dan memperluas penyebaran proyek CDM-nya ke negara ASEAN tidak hanya ke Cina.

Berlangsungnya pertemuan ini memberikan gambaran makin meningkatnya perhatian negara-negara ASEAN+3 dalam mengurangi konsumsi energi fosil dan upaya-upaya pengembangan EBT melalui proyek CDM.

Acara pertemuan yang dibuka oleh Direktur Eksekutif ACE dihadiri perwakilan Kementerian Energi Thailand dan KEMCO serta 22 peserta dari dari 11 delegasi negara-negara anggota ASEAN+3, menampilkan 9 pembicara dari Thailand, Korea, Philipina, dan Malaysia.

Sumber: www.esdm.go.id

THE SECRETARY-GENERAL : THE SECRETARY-GENERAL FOR THE PRESERVATION OF THE OZONE LAYER

16 September 2009

Pembangunan berkelanjutan sebagian besar tergantung pada pelaksanaan tujuan, target dan lingkungan disepakati pelaksanaan tujuan dan sasaran. Di antara sejumlah besar kesepakatan lingkungan multilateral yang disepakati antar negara selama 40 tahun berjalan, Konvensi Wina untuk Perlindungan Lapisan Ozon dan khususnya Protokol Montreal yang paling menonjol. Instrumen ini menjadi jalan untuk memperbaiki dan memulihkan perisai pelindung bumi dengan mekanisme pendanaan dan telah dilaksanakan dapat menjadi contoh inspirasi.

Peringatan tahun ini menandai tonggak lain, dengan dilakukannya deposit instrumen dari pencapaian Konvensi dan Protokol oleh negara demokrasi termuda di dunia, Timor-Leste. Sampai hari ini, negara tersebut merupakan satu-satunya yang tersisa yang belum meratifikasi Protokol Montreal. Sekarang, Konvensi Wina dan Protokol Montreal telah mencapai keikutsertaan secara universal - merupakan status yang khusus dan unik diantara ratusan perjanjian yang telah diserahkan pada Sekretaris Jenderal. Tindakan Timor-Leste memberikan sinyal yang kuat untuk solidaritas global, tidak hanya untuk mengatasi penipisan ozon tetapi untuk mengatasi tantangan multilateral lain yang mendesak, termasuk perubahan iklim.

Pengumpulan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa penghapusan bahan yang dikenal sebagai chlorofluorocarbon atau CFC sejak tahun 1990, meringankan gerakan dibidang perubahan iklim sepanjang 12 tahun. Kerjasama internasional tentang CFC merupakan afirmasi yang tepat waktu, melalui kesatuan tujuan dan tindakan, kita dapat meminimalkan risiko terhadap planet kita dan membangun dunia yang lebih aman untuk generasi mendatang. Ini adalah pelajaran bahwa kita harus mengambil intisari pada saat kita mempersiapkan Konferensi Perubahan Iklim di Kopenhagen pada bulan Desember.

Beberapa minggu yang lalu, para ahli dari Protokol Montreal dan Konvensi Kerangka Kerja PBB (UNFCCC) dan Protokol Kyoto bertemu di Jenewa, Swiss untuk memetakan strategi pada sekelompok bahan kimia yang dapat menyebabkan perubahan iklim. Hidrofluorokarbon atau HFC, yang secara luas digunakan sebagai pengganti BPO pada pembuatan busa, bahan pendingin dan AC, dapat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perubahan iklim di tahun 2050, sehingga mengganggu upaya untuk mengurangi gas rumah kaca, terutama karbon dioksida dan metana dari pembakaran bahan bakar fosil dan deforestasi.

Dengan bekerja secara bersama-sama, perjanjian tentang ozon dan iklim dapat melipatgandakan dampaknya bagi pembangunan berkelanjutan. Keuntungan lain mungkin termasuk peningkatan efisiensi energi dalam proses industri dan peralatan rumah tangga, dan memperluas agenda tentang bahan kimia, termasuk di bidang pengelolaan limbah dan kesehatan manusia.

Hari Ozon Internasional bagi Perlindungan Lapisan Ozon datang menjelang 80 hari sebelum konferensi iklim di Kopenhagen. Para Pemerintah harus menggunakan kesempatan itu untuk mengesahkan kesepakatan yang ambisius, komprehensif dan perjanjian tentang iklim yang baru dan adil. Tanpa tindakan pada perubahan iklim, dunia akan menghadapi gangguan sosial, ekonomi dan lingkungan. Contoh yang ditunjukkan oleh Protokol Montreal mengirimkan pesan yang kuat bahwa tindakan terhadap tantangan global utama tidak hanya mungkin, tetapi bahwa keuntungan keuangan dan manusia selalu lebih besar daripada biaya.

Sumber : ozonaction, www.uneptie.org/ozonaction

Krisis Listrik Sumut Teratasi Secara Bertahap

MEDAN - PT PLN (Persero) menyatakan krisis pasokan listrik di wilayah Sumatera Utara (Sumut) telah teratasi secara bertahap dengan masuknya tambahan daya sejumlah pembangkit listrik. ''Saat ini sudah tidak ada pemadaman lagi, daya mampu listrik Sumut sudah terpenuhi dengan reserve margin (cadangan listrik) yang masih pas-pasan. Pada akhir 2009, awal 2010 hingga 2011 akan masuk lagi sejumlah pembangkit baru'' kata Plt Direktur Luar Jawa-Bali PT PLN yang juga menjabat Direktur Jawa-Bali, Murtaqi Syamsuddin usai Launching Sentralisasi Billing dan Layanan Terpadu (ATM, SMS dan Banking) serta PT Pos di Medan, Jumat (30/10).

Menurut Murtaqi, pada akhir 2009 ini sistem Sumut akan mendapat tambahan pasokan listrik sebesar 330 Megawatt (MW) yaitu Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Labuhan Angin, Sibolga berkapasitas 2x115 MW dan task force pembangkit di sekitar Sumut berkapasitas 105 MW. Selanjutnya, pada 2010 akan masuk pasokan listrik sebesar 180 MW dari Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Asahan I berkapasitas 2x90 MW. "PLTA Asahan ini akan masuk ke sistem Sumut mulai Februari 2010," ujar Murtaqi.

Dia mengatakan, setelah itu juga akan masuk PLTU Pangkalan Susu, Langkat, Sumut sebesar 400 MW yang merupakan bagian dari program percepatan PLTU 10.000 MW tahap pertama. "Dari planing sudah terlihat jelas tambahan pasokan listrik sejak akhir 2009 ini hingga dua tahun ke depan. Apakah itu nantinya mencukupi atau tidak bergantung pertumbuhan beban pada tahun-tahun selanjutnya," kata Murtaqi.

Pertumbuhan beban listrik di Sumut, lanjut dia, bila dilepas akan semakin tinggi mencapai 9-11 persen per tahunnya. Apalagi proses industrialisasi khususnya di Medan, Riau dan Aceh terus tumbuh. "Kita harapkan setelah 2011 nanti, kondisi sistem kelistrikan di Sumatera semakin handal" katanya.

Sebab dengan selesainya sistem interkoneksi dari Sumut ke Sumbangteng (Sumbar dan Riau hingga Aceh) dapat dilakukan transfer daya sudah bisa dilakukan dengan didukung kehadiran pembangkit-pembangkit baru tersebut, sehingga mendorong percepatan pembangunan perekonomian daerah. "Hal ini juga didukung dengan sistem interkoneksi Sumatera. Sebelum 2012 nanti sistem interkoneksi 275 KV dari Sumbagsel hingga Sumbagteng sudah selesai," ujarnya.

Sementara itu, General Manager PT PLN Wilayah Sumut, Manerep Pasaribu, mengungkapkan sejak 2008 lalu, sistem kelistrikan di Sumut telah memperoleh transfer daya (swap) dari PT Inalum sebesar 45 MW dari kontrak 90 MW. "Kita dapatkan swap dari Inalum untuk beban puncak pada malam hari," tuturnya. Bahkan, pada 2009 ini PLN di sistem Sumut telah membantu transfer daya ke sistem Sumbar dan Riau sekitar 20-60 MW.

Selain itu, secara bertahap PLN Sumut memperbaiki pembangkit sehingga dapat menambah kapasitas pasokan listriknya.Menurut dia, saat ini tercatat daya mampu sistem mencapai 1.357 MW dengan beban puncak 1.251 MW. "Jadi daya mampu saat ini dengan permintaan masih pas-pasan dan cadangan masih di bawah 20 persen. Karena itu, kita berupaya keras untuk mempercepat masuknya tambahan daya ke depan," ujar Manerep.

Selanjutnya, pada akhir 2011, sistem Sumut akan memperoleh tambahan daya PLTU Meulaboh 2x100 MW. Artinya, pada 2010-2011, total daya tambahan listrik mencapai 780 MW.Kemudian prospek tambahan pembangkit setelah 2012, akan memperoleh tambahan 4 pembangkit listrik swasta (Independent Power Producer/IPP) masing-masing dari PLTU Kuala Tanjung 2x125 MW, PLTP Sarulla Unit 1 sebesar 110 MW, PLTP Sarulla Unit 2 sebesar 110 MW, serta pengoperasian PLTA Asahan III berkapasitas 2x87 MW.

"Ke depan, sistem kelistrikan di Sumut akan semakin bagus lagi dengan tambahan daya dari sejumlah pembangkit baru, maka tidak ada lagi pemadaman bergilir," ujar Manerep.

Subsidi

Dengan masuknya sejumlah pembangkit berbahan bakar non BBM tersebut menurut Manerep, pihaknya mampu menekan jumlah subsidi sebesar Rp 3 triliun atau turun dari Rp 8 triliun menjadi Rp 5 triliun pada 2009 ini."Di samping menekan jumlah subsidi, pendapatan kita dari pelanggan naik menjadi Rp 330 miliar per bulan. Jumlah ini mencapai 4 persen dari seluruh pendapatan PLN," ujarnya.

Manerep menambahkan, saat ini rasio elektrifikasi di wilayah Sumut telah mencapai 80 persen dengan jumlah pelanggan mencapai 2,5 juta pelanggan. Sedangkan target penyambungan listrik baru bagi pelanggan sebesar 57.000 pada 2009 ini.

Operasi P2TL

Sementara terkait kegiatan Penertiban Pemakaian Tenaga Listrik (P2TL) di wilayah Sumut, Manerep mengatakan, pihaknya menindak lebih dari 5.000 kasus pelanggaran pemakaian listrik ilegal selama 2008-2009 yang berasal dari kalangan industri, real estate maupun rumah tangga biasa. Dari operasi P2TL tersebut, PLN berhasil menyelamatkan uang negara mencapai Rp 12 miliar melalui tagihan susulan dan ganti rugi dari penggunaan listrik secara ilegal.

"Kita mendapat penghargaan terbaik P2TL tingkat nasional dengan jumlah menangani lebih dari 5.000 kasus dan jumlah pengembalian uang negara hingga Rp 12 miliar," katanya.

Selain itu, kata Manerep, jajarannya juga mampu menekan losses (susut daya) menjadi 9,3 persen (single digit) pada 2009 ini, dari losses tahun-tahun sebelumnya yang berkisar di atas 10 persen (double digit). "Dua tahun lalu losses masih double digit, kita berhasil menurunkan losses hingga 9,3 persen dari target tahun ini 9,07 persen. Kita yakin dapat capai target ini. Kunci keberhasilan kita didasari totalitas kerja tim yang bersih dan tegas," ujarnya.

Sumber: www.esdm.go.id

Carbon Capture and Storage (6) : Implementasi CCS di Indonesia

JAKARTA. Carbon Capture and Storage (CCS) merupakan salah satu teknologi mitigasi pemanasan global dengan cara mengurangi emisi CO2 ke atmosfer. Teknologi ini merupakan rangkaian pelaksanaan proses yang terkait satu sama lain, mulai dari pemisahan dan penangkapan CO2 dari sumber emisi gas buang (capture), pengangkutan CO2 tertangkap ke tempat penyimpanan (transportation), dan penyimpanan ke tempat yang aman (storage).

Dalam penerapan CCS di Indonesia, setidaknya terdapat tiga hal pokok yang perlu diperhatikan, yaitu keberadaan sumber CO2 yang signifikan, tempat penyimpanan yang sesuai, dan dapat memenuhi kriteria ekonomi dan politis.

Menurut konvensi Protokol Kyoto Indonesia termasuk ke dalam kelompok anggota yang tidak berkewajiban untuk menurunkan emisi (non-Annex-1), sehingga penerapan CCS sebagai pengurang emisi CO2 untuk keperluan mitigasi perubahan iklim tidak merupakan keharusan. Namun demikian, perkembangan negosiasi sejak COP-13 di Bali akhir tahun 2007 menyepakati bahwa negara anggota akan melakukan pengurangan emisi CO2 secara signifikan.

Negosiasi informal di luar konvensi dan COP-UNFCCC seperti Major Economies Forum (MEF) sepakat untuk berupaya menjaga agar kenaikan temperatur rata-rata tidak melebihi 2oC pada tahun 2050. Kesepakatan ini dapat diterjemahkan bahwa untuk mencapai target tersebut, negara-negara maju harus menurunkan emisinya sebanyak 85% dari baseline 1990 dan negara-negara berkembang sebesar 50% dari BAU hingga tahun 2050.

Dengan perkembangan ini, Indonesia sebagai salah satu negara berkembang (non-Annex-1) yang tergolong Major Economy terbebani oleh moral politis untuk ikut mengoptimalkan penurunkan CO2. Di sisi lain, mengingat mahalnya biaya CCS, penerapan CCS murni untuk keperluan mitigasi masih belum diaplikasikan di Indonesia. CCS baru diterapkan di Indonesia bila memberikan nilai tambah untuk dapat mengkompensasi biaya tersebut.

Sumber: www.esdm.go.id

Pemerintah Segera Bentuk Tim untuk Mempercepat Penyelesaian Proyek Pembangkit Listrik Swasta (IPP)

JAKARTA.Sekitar 50 proyek pembangkit listrik swasta (Independent Power Producer/IPP) mengalami hambatan dalam pembangunannya. Guna mempercepat penyelesaiannya Pemerintah segera membentuk Tim Percepatan Penyelesaian Proyek IPP dengan tugas utama mengatasi hambatan yang terjadi.

''Saat ini sekitar 50 proyek IPP yang sudah berjalan terhenti karena berbagai kendala dilapangan, seperti kenaikan harga bahan-bahan EPC (Engineering Procurement and Contract). Walaupun dikontrak sudah ada formula adjustment tapi tidak cukup untuk meng-cover perubahan itu,'' ujar Dirjen Listrik dan Pemanfaatan Energi, J Purwono seusai acara Pelepasan Jamaah Haji pegawai Departemen ESDM, Senin (2/11) di Jakarta.

Menurut J. Purwono, proyek-proyek tersebut sayang jika dihentikan karena merupakan aset nasional dan sudah menelan dana investasi. Oleh sebab itu perlu di lakukan renegosiasi antara PT PLN dengan investor proyek IPP untuk mendapatkan solusi terbaik. Selain itu proyek pembangkit listrik ini berkaitan dengan hajat hidup masyarakat luas.

Diuraikan oleh Dirjen LPE, J Purwono untuk menyelesaikan kendala dan permasalahan yang ada PT PLN memerlukan dukungan dari instansi lain. Tim lintas Departemen yang akan dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden ini seperti Tim Keppres 133 tahun 2000.

Tugas tim yang akan dibentuk oleh Presiden tersebut adalah menfasilitasi PT PLN dengan IPP untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi. Caranya dengan renegosiasi terkait dengan masalah harga maupun term of conditions. Berdasarkan pola ini diharapkan PT PLN tidak ragu-ragu dalam mengambil keputusan terkait penyelesaian proyek IPP tersebut.

Proyek-proyek IPP yang mengalami hambatan kapasitasnya mencapai sekitar 500 MW. Proyek-proyek ini tersebar di luar Pulau Jawa. Beberapa unit dari proyek-proyek pembangkit listrik swasta atau IPP ini bahkan sudah ada yang beroperasi.

Sumber: www.esdm.go.id

DESDM Selenggarakan “APEC Energy Capacity Building on Indonesia”

JAKARTA. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (DESDM) c.q. Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) DESDM bekerja sama dengan APEC EGEDA (Asia Pacific Economis Country, Expert Group on Energy Data and Analysis) sebagai koordinator kerjasama pertukaran data Asia Pacific, menyelenggarakan Workshop “APEC Energy Capacity Building on Indonesia”, bertempat di Hotel Millenium, Jakarta, Selasa s.d. Kamis, 3-5 November 2009.

Workshop ini dibuka dengan sambutan dari Kepala Pusat Data dan Informasi (Kapusdatin) DESDM, Farida Zed, serta Mr. Sigeru Kimura dari The Institute of Energy Economics, Jepang. Dalam sambutannya Kapusdatin mengungkapkan, melalui workshop ini diharapkan kerjasama pengelolaan data sektor DESDM dengan APEC EGEDA dapat ditingkatkan. “Workshop ini bermanfaat untuk meningkatkan kualitas pengelolaan data di lingkungan DESDM,” ujar Beliau.Workshop diikuti oleh perwakilan unit-unit di lingkungan DESDM, BUMN dan beberapa badan instansi sektor ESDM antara lain dari Ditjen Migas, Ditjen LPE, Ditjen Mineral Batubara dan Panas Bumi, PT. PLN (Persero), PT. Pertamina (Persero), BP MIGAS dan BPH Migas.

Pembicara workshop berasal dari APEC EGEDA yang berasal dari Thailand (Department of Alternative Energy Development and Efficiency), Australia (Australian Bureau of Agriculture and Resource Economics), serta Indonesia yang disampaikan oleh Setditjen Mineral Batubara dan Panas Bumi, Direktur Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, Pusat Data dan Informasi ESDM, PT. PLN (Persero), PT. Pertamina (Persero), dan Direktorat Statistik Kesra BPS.

Sumber: www.esdm.go.id