26 September 2010

Batubara Indonesia (Bagian 1)

Batubara merupakan salah satu sumber energi primer yang banyak digunakan di dunia, termasuk di Indonesia. Jumlah sumberdaya batubara Indonesia pada tahun 2005 menurut perhitungan Pusat Sumber Daya Geologi, ESDM sebesar 61,366 miliar ton. Jumlah sumberdaya batubara tersebut dapat dibedakan menjadi empat golongan, yaitu:

1. Hipotetik, masih dalam perkiraan awal
2. Tereka
3. Tertunjuk, jika dilakukan studi pra-kelayakan maka akan menjadi terkira dan terkira terpasarkan (sumber daya pra-kelayakan)
4. Terukur, jika dilakukan studi kelayakan maka akan menjadi terbukti dan terbukti terpasarkan (sumber daya kelayakan)

Pemanfaatan batubara sebagai sumber energi primer di Indonesia tidak terlepas dari kebijakan energi nasional Indonesia. Berdasar Peraturan Presiden No. 5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN), yang merupakan perubahan dari Kebijakan Umum Bidang Energi (KUBE) tahun 1998, batubara merupakan salah satu sumber energi primer yang berperan dalam menciptakan keamanan pasokan energi nasional secara berkelanjutan dan pemanfaatan energi secara efisien serta berperan dalam bauran energi (energy mix) yang akan optimal pada tahun 2025. Berikut persentase komponen bauran energi yang diproyeksikan pada tahun 2025:


Pada tahun 2025 diharapkan batubara memenuhi 34,6% dari total kebutuhan energi primer dalam bauran energi.

Untuk memenuhi target tersebut, produksi batubara Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat. Dalam 13 tahun terakhir, perkembangan produksi batubara Indonesia sebesar 15,68% per tahun. Berikut grafik trend produksi dan penjualan batubara Indonesia:



Berikut peranan perusahan tambang batubara dalam produksi batubara Indonesia; PKP2B sebesar 87,79%, KP sebesar 6,52% dan BUMN sebesar 5,68%. Dari produksi batubara tersebut, sebanyak 72,11% di ekspor. Sisanya, digunakan untuk keperluan di dalam negeri. Adapun industri yang memanfaatkan batubara di dalam negeri adalah PLTU, industri semen, industri kertas, industri tekstil, industri metalurgi dan industri lainnya.

Penggunaan batubara oleh PLTU tumbuh sekitar 13% setiap tahunnya yang sejalan dengan peningkatan listrik yang tumbuh 7,67% setiap tahunnya. Pada tahun 2025, PLTU diperkirakan akan memanfaatkan sekitar 71,11% batubara dalam negeri atau sekitar 35,34 juta ton. (bersambung ke bagian-2)



21 Agustus 2010

Program Bio Energi Perdesaan (B E P)

JAKARTA. Salah satu permasalahan nasional yang kita hadapi dan harus dipecahkan serta dicarikan jalan keluarnya pada saat ini adalah masalah energi, baik untuk keperluan rumah tangga, maupun untuk industri dan transportasi. Terkait dengan masalah tersebut, salah satu kebijakan pemerintah ialah rencana pengurangan penggunaan bahan bakar minyak tanah untuk keperluan rumah tangga.

Sejalan dengan hal itu pemerintah juga mendorong upaya- upaya untuk penggunaan sumber-sumber energi alternatif lainnya yang dianggap layak dilihat dari segi teknis, ekonomi, dan lingkungan, apakah itu berupa biofuel, biogas/gas bio, briket arang dan lain sebagainya.

Dalam rangka pemenuhan keperluan energi rumah tangga khususnya di perdesaan maka perlu dilakukan upaya yang sistematis untuk menerapkan berbagai alternatif energi yang layak bagi masyarakat. Sehubungan dengan hal tersebut maka salah satu upaya terobosan yang dilakukan adalah melaksanakan program Bio Energi Perdesaan (BEP), yaitu suatu Program BEP-Biogas Skala Rumah Tangga.

Upaya pemenuhan energi secara swadaya (self production) oleh masyarakat khususnya di perdesaan, termasuk bagi masyarakat di desa-desa terpencil seperti di daerah pedalaman dan kepulauan. Pelaksanaan program BEP juga terkait dengan upaya-upaya pengembangan agribisnis dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan dan ramah lingkungan.

Secara garis besar tujuan program BEP adalah berkembangnya swadaya masyarakat dalam penyediaan dan penggunaan bio energi (bio gas, bio massa, dan bio fuel) bagi keperluan rumah tangga termasuk untuk kegiatan usaha industri rumah tangga khususnya di perdesaan.

Biogas

Biogas adalah gas yang dihasilkan dari proses penguraian bahan-bahan organik oleh mikroorganisme pada kondisi langka oksigen (anaerob). Biogas dapat dibakar seperti elpiji, dalam skala besar biogas dapat digunakan sebagai pembangkit energi listrik, sehingga dapat dijadikan sumber energi alternatif yang ramah lingkungan dan terbarukan.

Komponen Biogas :
± 60 % CH4 (metana)
± 38 % CO2 (karbon dioksida)
± 2%N2,O2,H2,& H2S

Sumber energi Biogas yang utama: kotoran ternak Sapi, Kerbau, Babi dan Kuda

Kesetaraan biogas dengan sumber energi lain

1m3 Biogas setara dengan: elpiji 0,46 Kg, minyak tanah 0,62 liter, minyak solar 0,52 liter, bensin 0,80 liter, gas kota 1,50 m3, kayu bakar 3,50 kg

Sejarah Pemanfaatan Biogas Di Indonesia

Mulai diperkenalkan pada tahun 1970-an, pada tahun 1981 melalui Proyek Pengembangan Biogas dengan dukungan dana dari FAO dibangun contoh instalasi biogas di beberapa provinsi. Penggunaan biogas belum cukup berkembang luas antara lain disebabkan oleh karena masih relatif murahnya harga BBM yang disubsidi, sementara teknologi yang diperkenalkan selama ini masih memerlukan biaya yang cukup tinggi karena berupa konstruksi beton dengan ukuran yang cukup besar.

Mulai tahun 2000-an telah dikembangkan reaktor biogas skala kecil (rumah tangga) dengan konstruksi sederhana, terbuat dari plastik secara siap pasang (knockdown) dan dengan harga yang relatif murah.

Manfaat Biogas

Manfaat energi biogas adalah sebagai pengganti bahan bakar khususnya minyak tanah dan dipergunakan untuk memasak. Dalam skala besar, biogas dapat digunakan sebagai pembangkit energi listrik. Di samping itu, dari proses produksi biogas akan dihasilkan sisa kotoran ternak yang dapat langsung dipergunakan sebagai pupuk organik pada tanaman/budidaya pertanian.

Potensi Pengembangan Biogas di Indonesia

Potensi pengembangan Biogas di Indonesia masih cukup besar. Hal tersebut mengingat cukup banyaknya populasi sapi, kerbau dan kuda, yaitu 11 juta ekor sapi, 3 juta ekor kerbau dan 500 ribu ekor kuda pada tahun 2005. Setiap 1 ekor ternak sapi/kerbau dapat dihasilkan + 2 m3 biogas per hari.

Potensi Ekonomis Biogas

Potensi ekonomis Biogas adalah sangat besar, hal tersebut mengingat bahwa 1 m3 biogas dapat digunakan setara dengan 0,62 liter minyak tanah. Di samping itu pupuk organik yang dihasilkan dari proses produksi biogas sudah tentu mempunyai nilai ekonomis yang tidak kecil pula. (SF)

Sumber : Dit.Pengolahan Hasil Pertanian,Ditjen PPHP - Deptan

Dari Sampah Plastik Menjadi Baterai

Satu lagi teknologi pengolahan sampah kantong plastik telah diciptakan. Kali ini akademisi dari Amerika Serikat yang bernama Dr. Vilas Pol mampu mengkonversi sampah kantong plastik menjadi salah satu komponen yang digunakan pada industri baterai lithium ion melalui teknologinya. Adapun metoda yang digunakannya adalah dengan mengolah sampah kantong plastik menjadi carbon nantotubes. Carbon nanotubes inilah yang selanjutnya digunakan sebagai komponen baterai tersebut.

Dr. Pol mengatakan bahwa teknologi yang berhasil diciptakannya ini merupakan teknologi pengolahan sampah kantong plastik yang ramah lingkungan dan mampu menurunkan ongkos produksi pembuatan baterai. Selain untuk mengolah sampah kantong plastik, Dr. Pol meyakini bahwa teknologinya juga mampu mengolah sampah-sampah botol minuman yang terbuat dari plastik.

Dengan teknologi ini diharapkan permasalahan sampah plastik di Amerika Serkat akan terbantu terselesaikan. Selain itu, sampah yang semula tidak berguna dapat dimanfaatkan untuk sarana menyimpan energi melalui baterai. Selain itu, degradasi sampah yang membutuhkan waktu ratusan tahun dapat diatasai.

Sumber: www.doe.gov

18 Juli 2010

Polemik Kenaikan TDL 2010

TDL (Tarif Dasar Listrik) tengah menjadi pembicaraan hangat di tengah-tengah masyarakat. Penyebabnya adalah diumumkannya kenaikan TDL oleh pemerintah melalui Peraturan Menteri ESDM No. 7 Tahun 2010. Berbagai komentar muncul setelahnya. Sebagian besar, jika tidak mau dikatakan semuanya, bernada menentang kenaikan TDL tersebut. Ada yang menggunakan cara yang beradab hingga cara yang tidak pernah terbayangkan.

Respon negatif atas kenaikan TDL tersebut jika ditelaah disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya komitmen pelayanan prima dari PLN masih dipertanyakan, hitungan kenaikan yang dipersepsikan tidak sama, dan yang lebih besar adalah berkaitan dengan komitmen perlindungan negara atas kepentingan warganya melalui mekanisme subsidi.

Komitmen pelayanan prima dari PLN semenjak perombakan direksi baru memang sering kali diberitakan dengan manis oleh media. Maklum, dirut PLN yang baru berasal dari kalangan pers. Namun apa kenyataannya, di lapangan masih banyak dijumpai berbagai masalah yang sejak dulu masih "terpelihara" dengan baik. Meskipun dengan dalih tidak bisa menyelesaikan masalah seperti membalikkan telapak tangan serta yang tersisa adalah masalah-masalah lokal saja, fenomena yang ada masyarakat teresebut tetap nyata dan menjadi semacam amunisi untuk masayarakat menolak kenaikan TDL.

Selain permasalahan komitmen prima, besaran kenaikan yang tidak transparan menjadi ganjalan dikalangan konsumen PLN khususnya kalangan industri. Melalui organisasi Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia), mereka mempermasalahkan besaran kenaikan TDL yang tidak sesuai dengan kesepakatan antara pemerintah, PLN serta Apindo sebesar 18 % dari tarif semula. Apindo mengklaim bahwa berdasarkan simulasi perhitungannya ada pengusaha yang mengalami kenaikan TDL hingga 40%. Namun, semua ini dibantah oleh pihak PLN melalui Kepala Divisi Niaga PLN. Menurutnya, perhitungan yang dilakukan Apindo tidak memasukkan unsur biaya beban yang berarti hanya membandingkan TDL lama dengan TDL baru yang telah dinaikkan. Contohnya adalah sebagai berikut misal untuk pelanggan I-1 sebelumnya dikenakan tarif sebesar Rp. 455-460 per kWh, sementara tarif baru sebesar Rp. 915 per kWh. Jika diamati kenaikan tarif tersebut lebih dari 50%. Namun, sebenarnya tarif lama masih mengandung besaran biaya beban sebesar Rp. 31.800 per bulan. Selain itu, perhitungan tarif lama untuk kalangan industri masih memasukkan tarif daya max dan tarif multi guna sementara pada perhitungan tarif baru tidak memasukkan tarif daya max dan tarif multiguna.

Selain besaran tarif, Apindo juga mempermasalahkan payung hukum yang mendasari kenaikan TDL tahun 2010. Untuk kenaikan TDL pada tahun sebelumnya, yaitu tahun 2004, payung hukum yang mendasarinya adalah Keputusan Presiden (Keppres) No. 104 tahun 2003 sementara untuk kenaikan TDL tahun 2010 ditetapkan melalui Permen.

Hal lain yang sangat besar implikasinya dari hanya sekedar kenaikan TDL adalah isu pencabutan subsidi disektor kelistrikan. Saat ini selain, kedua hal sebelumnya, muncul wacana bahwa kenaikan TDL ini disebabkan oleh semangat liberalisme sektor kelistrikan. Akibatnya harga listrik dipaksa untuk diarahkan mengikuti mekanisme harga pasar. Negara melalui pemerintah tidak akan lagi mempunyai kekuatan apapun untuk mengendalikan harga listrik jika upaya liberalisasi ini diwujudkan. Meskipun ini hanya isu, setidaknya wacana ini sungguh dirasakan oleh penulis. Padahal sudah jelas di Undang-Undang Dasar bahwa cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Sektor kelistrikan merupakan salah satu cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak.

Akibat reaksi-reaksi tersebut, pemerintah melalui Menteri Koordinator Perekonomian merevisi besaran kenaikan TDL tersebut. Pemerintah berkomitmen bahwa kenaikan TDL untuk tahun 2010 tidak melebihi 18% dari tagihan sebelumnya yang menggunakan tarif tahun 2004. Meskipun demikian, bagi bangsa ini "perasaan" kenaikan TDL lebih berpengaruh besar dari besarnya angka kenaikan itu sendiri, bahkan berimbas pada tarif atau harga yang lain yang mungkin saja tidak ada kaitannya sama-sekali dengan TDL. Sungguh miris bagi penulis untuk mengamatinya.

23 Mei 2010

Menuju Ekonomi Hidrogen

Kegiatan perekonomian dunia yang semakin dinamis membutuhkan sumber energi yang cukup dan tidak bergejolak berlebihan. Sebagai konsekuensi logis, manusia berusaha untuk memenuhi kondisi tersebut. Berbagai sumber energi primer telah dimanfaatkan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan akan energi. Dari berbagai sumber energi primer yang telah dimanfaatkan oleh manusia, hampir seluruhnya didominasi oleh bahan bakar yang berdasarkan karbon. Jika dilihat dari produksi minyak mentah sebagai wakil dari sumber energi primer, jumlahnya terus meningkat dari tahun ketahun.


Sumber: www.doe.gov

Penggunaan bahan bakar berbasis karbon menghasilkan gas buang yang salah satunya adalah karbon dioksida. Seiring dengan meningkatnya penggunaan bahan bakar berbasis karbon tersebut, maka jumlah karbon dioksida yang dihasilkannya pun meningkat. Berikut ini grafik yang menggambarkan peningkatan jumlah karbon dioksida sebagai gas buang dari tahun ketahun.




Sumber: www.doe.gov

Seperti diketahui bahwa karbon dioksida merupakan unsur pembentuk yang paling utama dari gas rumah kaca yang dituding sebagai penyebab meningkatnya temperatur dunia. Fenomena tersebut saat ini menjadi perhatian utama segenap penduduk di muka bumi ini. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, berbagai alternatif pemecahan telah banyak dikembangkan. Salah satu alternatif yang hendak penulis kemukakan adalah peralihan paradigma ekonomi berdasarkan karbon menjadi paradigma ekonomi berdasarkan hidrogen.

Ekonomi Beradasarkan Hidrogen

Paradigma ekonomi berdasarkan hidrogen adalah perilaku masyarakat yang mendasarkan pada hidrogen untuk memenuhi kebutuhan energinya dalam menggerakan aktifitas ekonomi. Perlunya perubahan paradigma ini didasarkan pada beberapa hal sebagai berikut: upaya penyelamatan lingkungan global, pencegahan polusi di tingkat lokal, polusi kebisingan, serta dalam upaya menjamin kebutuhan energi dunia. Seperti diketahui hidrogen merupakan salah satu elemen yang menghasilkan energi jika direaksikan dengan oksigen. Faktor lebih dari penggunaan hidrogen sebagai bahan bakar adalah menghasilkan gas buang air dan pengotor mikro lainnya, bukan karbon dioksida seperti yang dihasilkan oleh bahan bakar berbasis karbon. Oleh Energy Saving Trust, Inggris, digambarkan bahwa hidrogen merupakan bahan bakar yang menjanjikan untuk menghasilkan zero carbon pada moda transportasi.

Sebenarnya penggunaan hidrogen sebagai bahan bakar sudah dilakukan sejak lama. Di Inggris, hidrogen dengan komposisi hingga 50% dijadikan bahan pencampur untuk gas kota pada tahun 1950-an. Selain itu, hidrogen juga telah digunakan sebagai bahan bakar roket. Jika dirunut lebih belakang lagi, ketertarikan akan penggunaan hidrogen sebagai bahan bakar sudah terjadi pada tahun 1800-an. Ketertarikan tersebut kembali muncul sekitar tahun 1970-an ketika terjadi krisis minyak dan kembali lagi pada tahun 1980-an setelah berkembangnya teknologi produksi dan penyimpanan hidrogen.


Teknologi Produksi Hidrogen

Hidrogen sebagai sumber bahan bakar merupakan elemen yang tidak disediakan dalam jumlah yang tidak melimpah dialam. Sifat hidrogen sebagai bahan bakar mirip dengan energi listrik yaitu sebagai pemabawa energi (energy carrier). Maksud dari hidrogen sebagai pembawa energi adalah hidrogen sebagai bahan bakar memerlukan sumber energi lain sebagai pembangkitnya sehingga hidrogen seolah-olah membawa energi yang berasal dari sumber energi pembangkitnya.

Hidrogen dapat dibangkitkan dari beberapa sumber antara lain dari hidrokarbon (batubara, minyak bumi, dan gas alam), limbah biomassa, serta air yang kemudian dielektrolisis. Arus listrik yang digunakan untuk elektrolisis dapat berasal dari pembakaran bahan bakar fosil, nuklir maupun bahan bakar terbarukan. Industri petrokimia dan pengilangan minyak bumi merupakan konsumen terbesar hidrogen saat ini. Kedua industri tersebut menggunakan hidrogen sebagai bahan mentah untuk produksi maupun untuk keperluan proses lainnya.

Dalam proses produksi hidrogen dari bahan bakar fosil, akan dihasilkan karbon dioksida (CO2) sebagai produk lain selain hidrogen itu sendiri. Meskipun demikian, beberapa peneliti memperkirakan bahwa karbon dioksida yang dihasilkan tidak lebih besar jika dibandingkan pembakaran bahan bakar fosil secara langsung. Saat ini, mulai dikembangkan beberapa metoda maupun teknologi yang memungkinkan untuk menangkap CO2 seperti biological sink maupun geological sink.

Teknologi produksi hidrogen yang ada saat ini antara lain steam reforming, oksidasi parsial, elektrolisis, rute biologis dan teknologi fotoelektrolisis. Steam reforming merupakan teknologi produksi hidrokarbon yang menggunakan hidrokarbon sebagai bahan bakunya. Hidrokarbonnya dapat berasal dari bahan bakar fosil maupun dari gasifikasi biomassa. Oksidasi parsial merupkan teknologi produksi hidrogen yang digunakan untuh bahan baku yang berasal dari hidrokarbon berat seperti minyak bumi dan batubara. Elektrolisis merupakan teknologi produksi hidrogen yang paling tua yang berusia hampir 80 tahun. Teknologi ini akan ekonomis jika harga listrik murah. Rute biologis merupakan teknologi produksi hidrogen melalui pembiakan beberapa jenis alga dan bakteri. Alga dan bakteri tersebut mampu menghasilkan hidrogen melalui proses fotosintesis maupun fermentasi. Sementara itu, teknologi fotoelektrolisis merupakan teknologi elektrolisis yang sumber energi listriknya berasal dari energi matahari.

Dari sini dapat diketahui ekses CO2 dari proses produksi hidrogen dapat dikurangi secara signifikan jika dihasilkan melalui elektrolisis dengan energi nuklir maupun sumber-sumber renewable. Saat ini, hampir sekitar 95% produksi hidrogen berasal dari hasil reformasi gas alam.

Isu kunci yang mempengaruhi produski hidrogen saat ini ada beberapa hal, antara lain :


  • Steam reforming dan elektrolisis merupakan jalur produksi yang sudah dilakukan secara komersial dan memiliki peranan yang penting dalam jangka pendek dan menengah untuk memenuhi permintaan energi dari hidrogen. Proses ini cocok untuk awalan saja, untuk memenuhi kebutuhan pasar nantinya sangat tidak memungkinkan.
  • Saat ini hidrogen lebih mahal dari bahan bakar konvensional. Namun hal ini akan bisa diatasi dimasa depan dengan adanya pembebasan pajak serta teknologi produksi dan penyimpanan hidrogen dapat dicapai dengan baik.
  • Sumber energi yang akan habis dan isu reduksi gas rumah kaca dalam kurun menengah dan panjang akan menimbulkan masa transisi teknologi rendah dan pengurang CO2.

Teknologi Penyimpanan dan Infrastruktur Distribusi

Selain teknologi produksi, teknologi penyimpanan dan infrastruktur untuk pendistribusian merupakan hal yang menjadi pemikiran dalam perubahan paradigma ekonomi ini. Teknologi penyimpanan hidrogen dapat melalui beberapa cara antara lain; compressed gas, liquid hydrogen dan chemical storage. Compressed gas merupakan teknologi penyimpanan hidrogen dengan cara ditekan hingga 200 bar. Liquid hydrogen merupakan teknologi penyimpanan hidrogen pada temperatur -253 0C dalam insulated pressure vessel. Sementara itu penyimpanan hidrogen dengan chemical storage merupakan teknologi penyimpanan yang memanfaatkan metal hydrides sebagai tempat penyimpanan hidrogen. Metal hydrides merupakan metal alloys yang mampu mengikat hidrogen pada permukaannya dan akan melepaskan hidrogen jika metal tersebut dipanaskan.

Saat ini, lokasi produksi hidrogen hampir selalu berdekatan dengan unit ataupun perusahaan yang membutuhkannya. Jika butuh didistribusikan untuk tempat yang jauh dengan lokasi produksi, hidrogen ditransportasikan dengan menggunakan truk liquid hydrogen, jaringan pipa atau dengan menggunakan tangki bertekanan. Untuk distribusi dalam jangka panjang perlu dipikirkan juga tanker untuk mengangkut cryogenic hydrogen liquid.

Untuk alat transportasi atau kendaraan bermotor, infrastruktur untuk pengisian ulang memerlukan investasi yang khusus. Dalam pembangunannya dalam tahap awal, hal-hal yang harus diperhatikan dalam pembangunan antara lain jumlah kendaraan, letak geografis konsumen, serta promosi penggunaan hidrogen sebagai bahan bakar.

Pengguna Akhir

Hidrogen dapat digunakan untuk berbagai keperluan pembangkitan energi. Hidrogen dapat digunakan untuk membangkitkan listrik melalui fuel cell maupun dibakar secara langsung. Untuk kendaraan bermotor, hidrogen dapat langsung dibakar pada internal combustion engine (ICE) seperti bahan bakar yang berasal dari minyak bumi ataupun gas alam. Selain itu, hidrogen dapat digunakan sebagai sumber energi untuk kendaraan bermotor yang menggunakan fuel cell. Penggunaan hidrogen sebagai sumber tenaga fuel cell dapat meningkatkan efisensi hingga 45% dari 25%.

Safety

Beberapa peneliti mengatakan bahwa kendaraan bermotor yang menggunakan hidrogen sebagai bahan bakar jauh lebih aman ketika bertabrakan jika dibandingkan dengan kendaraan yang menggunakan bahan bakar yang berasal dari minyak bumi. Hal ini disebabkan hidrogen mudah menguap jika berada ditempat terbuka. Asalkan tidak ada komponen dari segitiga api, ledakan maupun kebakaran tidak akan terjadi.

Transisi Ekonomi Hidrogen

Harus diakui bahwa transisi menuju ekonomi hidrogen penuh ketidakpastian dan juga tidak bisa dihindari. Hal ini disebabkan transisi ekonomi hidrogen membutuhkan infrastruktur dengan investasi yang cukup besar. Beberapa analis memperkirakan bahwa setidaknya ada dua penyebab utama yang memperlambat proses transisi ekonomi hidrogen. Penyebab utama tersebut antara lain: hidrogen membutuhkan biaya yang cukup tinggi karena membutuhkan jalur distribusi yang cukup banyak; untuk kendaraan bermotor, membutuhkan infrastruktur yang cukup banyak. Oleh karena itu, rencana yang baik dan terstruktur dari pemangku kepentingan akan sangat dibutuhkan dalam transisi ekonomi hidrogen.

01 April 2010

Indonesia-Korea Sepakat Meningkatkan Kerjasama di Bidang Energi

JAKARTA. Pertemuan ketiga Indonesia-Korea Energy Forum (IKEF) yang berlangsung 25-26 Maret lalu di Seoul, Korea, difokuskan pada kerja sama yang potensial dikembangkan di masa depan serta evaluasi terhadap kerja sama yang telah terjalin selama ini. Kedua pihak berkomitmen untuk meningkatkan kerjasama yang selama ini sudah terjalin.

Kerja sama yang telah terjalin antara Indonesia dan Korea dalam bidang migas, antara lain pengembangan Blok Madura dan Poleng yang merupakan kerja sama PT Pertamina dan Kodeco serta PT Pertamina dan SK Energy yang berkolaborasi di hilir migas. Beberapa bidang kerjasama yang potensial untuk dikembangkan di masa depan, antara lain pengembangan dimetil eter (DME) sebagai minyak baru, pengembangan lapangan migas marjinal, CBM, batu bara dan penelitian bersama biofuel generasi kedua.

Pada kesempatan tersebut, Delegasi Korea menyampaikan harapannya agar dapat melanjutkan kerja sama mensosialisasikan pembangkit listrik tenaga nuklir di Indonesia.

Pertemuan ketiga IKEF dihadiri oleh 155 pejabat pemerintah dan pengusaha dari kedua negara. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Dirjen Migas Kementerian ESDM Evita H. Legowo. Sedangkan Delegasi Korea dipimpin Deputi Menteri Energi dan Kebijakan Sumber Daya Alam Kim Junggwan.

Penyelenggaraan The 3rd IKEF ini bersamaan dengan pertemuan The 2nd Joint Task Force (JTF) Indonesia-Korea. Ini merupakan wadah pertemuan bilateral Indonesia-Korea yang membahas mengenai kemajuan atau perkembangan yang meliputi pembicaraan dari berbagai kementerian atau unit terkait dan diikuti oleh pemerintah serta swasta. Bertindak sebagai focal point kegiatan JTF adalah Kemenko Perekonomian RI bersama dengan Ministry of Knowledge of Economy (MKE) Republik Korea.

Kerja sama bilateral Indonesia-Korea Selatan dimulai pada tahun 1979. Pertemuan tersebut membahas kebijakan-kebijakan di bidang energi diantara kedua negara, perdagangan LNG, minyak mentah, hasil kilang, batu bara dan kerja sama dalam pengembangan minyak, gas bumi, batu bara dan tenaga listrik. Pada periode 1979-2006, Indonesia dan Korea telah melaksanakan pertemuan bilateral sebanyak 21 kali yang terbentuk dalam Joint Committee on Energy.

Pada 4 Desember 2006 bersamaan dengan Joint Committee ke 22, disepakati untuk lebih meningkatkan dan mengintensifkan kerja sama sektor energi yang melibatkan swasta dari kedua negara. Ini ditandai dengan kesepakatan pembentukan Energy Forum yang diharapkan menjadi wadah baru bagi kerja sama Indonesia-Korea, menggantikan Joint Committee.

Sumber: www.esdm.go.id

05 November 2009

Program Desa Mandiri Energi (DME) Departemen ESDM

JAKARTA. Indonesia merupakan Negara besar dengan 33 provinsi dan memiliki tidak kurang dari 70 ribu desa. Saat ini 45% dari desa tersebut dikategorikan sebagai Desa Tertinggal yang ditandai dengan terbatasnya akses masyarakat terhadap energi.

Depertemen ESDM sebagai departemen teknis yang menangani energi telah melaksanakan program Desa Mandiri Energi (DME) yaitu, program penyediaan energi dengan memanfaatkan potensi energi setempat baik berbasis Bahan Bakar Nabati (BBN) maupun non-BBN dengan teknologi yang dapat dioperasikan oleh masyarakat setempat.

Program DME dimaksudkan untuk sebagai entry point dalam kegiatan ekonomi pedesaan pertama kalinya diluncurkan oleh Presiden RI di Desa Grobogan, Jawa Tengah pada tahun 2007 dan terus dilanjutkan didesa-desa lainnya. Akhir pada akhir tahun 2009 ini diharapkan terbentuk 850 DME dan ditargetkan hingga akhir 2014 nanti ditargetkan terbentuk 3.000 DME.

Dalam perkembangannya, Program DME mulai memanfaatkan teknologi energi baru terbarukan seperti, mikrohidro, angin dan surya sebagai pembangkit energi alternatif. waktu itu dikenal dengan istilah “Desa Energi Terbarukan”. Beberapa Desa Energi Terbarukan yang dikembangkan Departemen ESDM berhasil mendapat penghargaan ditingkat ASEAN diantaranya, PLTMH Cicurug Garut, PLTMH Malang. Desa Energi Terbarukan merupakan cikal bakal Desa Mandiri Energi.

DME merupakan alternatif pemecahan masalah penyediaan energi. Disamping itu pengembangan Program DME diharapkan dapat mengurangi tingkat kemiskinan (Pro-Poor), memperkuat ekonomi nasional (Pro-Growth) dan memperbaiki lingkungan (Pro-Planet).

Sumber: www.esdm.go.id